JAKARTA - KPK mempertanyakan munculnya peraturan KPU PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang membolehkan mantan narapidana korupsi maju digelaran Pilkada 2020. Ketua KPK Agus Rahardjo menganggap ada yang salah bila aturan ini diterapkan.
"Kalau orang pernah jadi koruptor apalagi terpidana dalam perjalanannya mentalitasnya seperti apa kok masih dipertahankan?" kata Agus di Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin, 9 Desember.
Sementara, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menganggap, diperbolehkannya bekas koruptor jadi calon kepala daerah adalah suatu kemunduran. Dia minta partai politik harusnya menyeleksi kadernya sebelum dicalonkan. Selain itu, dia juga minta KPU mengumumkan rekam jejak para calon yang maju agar pemilih tahu siapa yang dipilih.
"Kalaupun nanti ada yang mencalonkan, KPU harus umumkan rekam jejak dari masing-masing orang tersebut," ujar Syarif.
Peraturan KPU Nomor 18 2019 baru saja diterbitkan. Dalam aturan itu, tak ada larangan bekas koruptor mencalonkan sebagai kepala daerah. PKPU tersebut merupakan perubahan atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
Dijelaskan Pasal 4 huruf (h) PKPU 18 Tahun 2019, mantan narapidana yang tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Sementara, aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi tidak tercantum.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menjelaskan, mantan narapidana korupsi tak dilarang mencalonkan dalam pilkada kali ini untuk menghindari perdebatan publik karena Pilkada 2020 akan segera dimulai.
"Ini terlalu dipersoalkan, bisa mengganggu tahapan pencalonan. Sekarang kan tahapan pencalonan sudah berjalan dari 26 Oktober, sehingga apa yang menjadi syarat-syarat bagi calon perseorangan harus sudah selesai," ucap Evi pekan lalu.
Apalagi, pada Pileg 2019, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg, digugat ke Mahkamah Agung. Hasilnya, MA membatalkan pasal larangan tersebut dan mantan narapidana dalam kasus tersebut boleh kembali mencalonkan diri, setelah sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan.