JAKARTA - Pemerintah tetap berusaha menjalankan roda perekonomian di tengah pandemi COVID-19. Hal ini terbukti setelah pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/328/2020 yang berisi panduan mencegah COVID-19 di tempat kerja.
Dalam panduan tersebut, ada beberapa hal yang harus jadi tanggungjawab para pengusaha terhadap karyawannya. Termasuk menyediakan tempat bekerja yang aman dan sesuai dengan protokol kesehatan pemerintah, termasuk memberlakukan physical distancing dan selalu menyediakan tempat mencuci tangan atau hand sanitizer di berbagai tempat untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai semua protokol ini harus dibarengi dengan pengawasan ketat dari Dinas Kesehatan sebagai kunci kesuksesan pelaksanaannya. Dia bahkan menilai, Dinkes perlu untuk melakukan pemeriksaan acak ke sejumlah pemeriksaan demi memastikan protokol ini dilakukan semua perusahaan tanpa terkecuali.
"Penting melakukan random check atau semacam sidak sehingga langsung dilakukan sanksi atau langkah perbaikan kepada pemilik perusahaan agar tertib. Jangan sampai ada diskriminasi, yang satu sudah tertib tapi banyak perkantoran lain yang tidak mematuhi," kata Bhima kepada wartawan, Selasa, 25 Mei.
Dia juga mengatakan ada kemungkinan sejumlah tempat kerja tidak mampu menyediakan protokol kesehatan yang memadai. Misalnya, menyediakan hand sanitizer maupun masker. "Untuk perusahaan sedang dan besar mungkin tidak ada masalah tapi untuk UMKM pasti akan ada tambahan cost atau biaya," tegas Bhima.
Sehingga, di saat seperti ini sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada pengusaha UMKM untuk menjamin ketersediaan masker. Selain itu, pemerintah juga harus melaksanakan sosialisasi protokol kesehatan yang aman sejak saat ini.
Alasan pemulihan ekonomi dianggap belum tepat
Namun, Bhima skeptis soal protokol ini. Sebab selain menilai Kementerian Kesehatan belum siap betul soal protokol new normal yang baru mereka keluarkan, alasan pemulihan ekonomi di tengah pandemi COVID-19 ini juga dianggapnya tidak tepat.
"(Alasan pemulihan ekonomi) belum tepat, selama kesiapan protokol kesehatan tidak 100 persen," ungkapnya.
BACA JUGA:
Selain Bhima, Pakar Epidemiologi dari FKM UI, Pandu Riono juga menilai terbitnya protokol new normal di tempat bekerja dengan alasan menggerakkan kembali perekonomian belum tepat karena ada hal yang harusnya diperhatikan pemerintah sebelum melaksanakan protokol ini, yaitu pengurangan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Alasannya memang aneh. Protokol hanya bisa dilaksanakan jika pengurangan PSBB diberlakukan. Kriteria pengurangannya ini perlu melihat berbagai indikator kesehatan," kata Pandu ketika dihubungi VOI pada Senin, 25 Mei.
Indikator kesehatan yang dimaksud adalah dari segi epidemiologi, kesehatan publik, dan kesiagaan pelayanan kesehatan yang perlu dinilai. Pandu menjelaskan, daerah yang bisa dilakukan pelonggaran PSBB adalah daerah yang sudah masuk ke zona hijau. "Kalau belum hijau ya, masih belum memenuhi syarat," ungkapnya.
Dianggap sebagai pembenaran orang kembali penuhi tempat umum
Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay justru menganggap jika penerbitan protokol new normal di tempat kerja ini malah dianggap tidak tepat. Menurut dia, aturan ini bisa menjadi celah bagi masyarakat untuk menghindari aturan PSBB karena mereka sudah bisa bekerja seperti biasa dan tidak perlu lagi menahan diri di rumah selama pandemi COVID-19.
"Konsekuensinya, jalanan akan ramai kembali. Pasar, mal, industri, perkantoran, dan tempat kerja lainnya dipastikan akan ramai. Saya menilai, ini masih rawan. Apalagi faktanya, COVID-19 belum bisa diputus mata rantai penyebarannya” kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Dia juga menilai tak ada hal baru dalam protokol yang baru dikeluarkan oleh Menkes tersebut. Sebab, protokol tersebut sama saja dengan protokol kesehatan yang kerap disampaikan oleh pemerintah dan sudah diterapkan masyarakat.
Anggota DPR RI ini juga mengkritisi beberapa hal yang terdapat dalam protokol ini. Pertama adalah soal pengukuran suhu sebelum masuk ke tempat kerja. Kata dia, apakah ada jaminan ketika pengukuran suhu dilakukan akan aman bagi karyawan mengingat saat ini banyak masyarakat yang terjangkit namun tidak bergejala atau yang biasa disebut orang tanpa gejala (OTG).
"Kedua, perusahaan tidak menerapkan lembur kerja. Aturan ini diharapkan untuk mengurangi sosial distancing dan physical distancing. Tetapi harus disadari bahwa jika semua sudah dibolehkan bekerja, sosial distancing dan physical distancing sudah sulit untuk dikontrol," ungkap Saleh.
Dirinya juga menambah, pemerintah juga terkesan melonggarkan aturan itu dengan menyebut shift tiga boleh dilakukan tapi harus diisi oleh mereka yang berusia di bawah 50 tahun.
Hal ini dianggapnya janggal, karena berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan COVID-19, masyarakat positif COVID-19 berada di bawah usia 50 tahun jumlahnya berkisar di angka 47 persen. "Artinya, pembedaan usia layak lembur ini sangat tidak tepat," tegasnya.
Saleh juga mengomentari soal penggunaan masker seperti yang tertulis dalam Keputusan Menkes tersebut. Kata dia, aturan ini sebenarnya sudah banyak dikerjakan. Namun, pemakaian masker ini dianggap belum bisa menjadi jaminan bahwa penyebaran COVID-19 ini akan berhenti. Begitu juga dengan penyediaan vitamin C bagi karyawan perusahaan.
Menurut dia, hal ini sebenarnya bisa saja dilakukan meski perusahaan harus mengeluarkan anggaran pengadaan. Tapi, Saleh menilai, apa pemberian tersebut sudah tepat. Sebab, sejauh ini belum ada penelitian yang menyebut bahwa vitamin C mampu melawan corona meski diyakini mampu meningkatkan kekebalan tubuh.
Sehingga, anggota dewan ini mengimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada di tengah penyebaran COVID-19. Menurut dia, menjaga diri dan keluarga dari penyakit ini sangat diperlukan.
"Jangan terlalu gembira dengan aturan Kemenkes ini. Tetap berhati-hati. Perang melawan corona belum usai. Tidak hanya di negara kita, di negara lain pun sama," pungkasnya.