Begini Cara Pertolongan Pertama pada Orang Henti Jantung
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) dr. Isman Firdaus/ Tangkapan layar

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) dr. Isman Firdaus, menyebut pentingnya penanganan kepada penyakit jantung. Terlebih adanya kejadian salah satu pebulutangkis Markus Kido yang meninggal akibat jantung. Ini membuat kita bagaimana menolong tidak hanya atlet tapi juga masyarakat. 

Menurut dia atlet agak riskan, karena melakukan kegiatan intensitas tinggi dan mendadak. Seperti atlet bulutangkis, saat mereka melakukan smash pasti efeknya ke jantung, apalagi lari sprint dan sepakbola.

Begitu juga dengan pesebakbola Denmark, Christian Eriksen, yang roboh ditengah pertandingan. Beruntung nyawanya masih terselamatkan karena cepat tanggap pertolongan pertama.

Angka kematian akibat jantung sendiri menyumbang 17 juta kasus, sementara diseluruh dunia angka kematian akibat perang dan penyakit totalnya 42 juta. 

"Karena jantung saja 17 juta, malaria 3 juta. Jadi memang tinggi kematian akibat kardiovaskuler di seluruh dunia," kata dr. Isman dalam webinar bertajuk 'Jantung Sehat bagi Atlet dan Pegiat Olahraga' yang disiarkan secara langsung lewat akun YouTube resmi VOI.ID, Kamis, 1 Juli.

Bagaimana orang awam menolong orang yang henti jantung?

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Radityo Prakoso, menyampaikan bagaimana orang awam bisa menolong orang dengan henti jantung. 

Dia mengatakan, survival atau pulihnya seseorang dengan henti jantung itu akan menurun bila tidak dilakukan pertolongan apa-apa seiring waktu. 

"Kalau pada menit pertama pertolongannya, maka survivalnya bisa antara 21-36 persen bisa kembali ROSC (Return of Spontaneous Circulation) atau kembali terabanya nadi selama 10 menit dan tanda sirkulasi bertahan. Kalau didiamkan 20 menit berikutnya, akan turun hanya 4,6 persen," ujar dr. Radityo.

 

Sementara, pada 53 menit sudah dipastikan 100 persen akan meninggal bila tidak dilakukan pertolongan oleh teman-teman terdekatnya. Dan ini diteliti oleh GOTO dengan sample 17.238 kasus. 

"Jadi saya kira ini cukup menggambarkan dunia nyata tentang masalah henti jantung," sambung ketua Kegawatdaruratan Kardiovaskuler itu.

Lebih lanjut, dr. Radityo mengungkapkan setiap 90 detik para dokter kardiovaskuler akan direpoti dengan kejadian henti jantung di seluruh dunia. 

Nah, bagaimana kita tahu gejala atau warning sign dari serangan jantung?

Utamanya, adalah nyeri dada atau rasa tidak nyaman pada dada, disertai dengan rasa pusing ingin pingsan serta terasa mual dan muntah. Nyerinya, kata dr. Radityo, sangat tidak biasa, mengalami keringat dingin sehingga kadang seperti orang disiram air disertai dengan sesak nafas.

"Jadi ketika ada teman atau kita sendiri mengalami seperti itu, jangan tunda lama-lama, cepat ke dokter untuk diberikan pertolongan," tegasnya.

Selain itu, dr. Radityo menyarankan apabila mendapatkan orang atau teman yang henti jantung, maka pastikan lingkungan aman untuk dilakukan pertolongan.

"Yang tidak aman misalnya, tempat kejadian orang itu pingsan karena tersengat listrik maka harus listrik dimatikan dulu. Atau ditempat hewan buas, jangan ditolong dulu pastikan lingkungannya aman," katanya.

Berikutnya adalah melakukan cek respons, yang dilanjutkan mengaktifkan sistem emergensi atau minta pertolongan orang lain. 

"Jangan jadi pahlawan sendirian itu tidak boleh, karena sendirian tidak menyelesaikan masalah jadi harus minta tolong. Sekarang jamannya media sosial bikin status di Instagram, WhatsApp, gunakan untuk minta pertolongan," ucapnya.

Setelahnya, lakukan chest compression (kompresif dada) disertai gejala nafas. "Untuk dijaman pandemi, hati-hati, pastikan lingkungan aman dan beri proteksi terbaik untuk penolong," imbaunya.

dr. Radityo menjelaskan apa yang dimaksud dengan cek respon, yaitu melakukan tepukan pada bahu tubuh pasien sambil memanggil nama korban secara keras. Kalau tidak ada respon langsung lakukan call for health. 

"Kalau di luar RS boleh teriak, telepon ambulance, bila di RS aktifkan sistem emergensi yang biasanya kita sebut dengan kode biru," katanya.

Berikutnya, adalah teknik kompresi dada. Pertama, penderita atau korban dibaringkan di alas keras. 

"Jadi kalau ditemukan tidak sadarnya itu di atas tempat tidur yang empuk itu harus kita pindahkan ke bawah. Dalam memindahkan harus hati-hati, tidak boleh berbeda-beda karena kalau korban tidak dikenal kita harus curiga jangan-jangan ada trauma di tulang belakang atau dia habis jatuh kecelakaan," sebut dr. Raditya.

Lantas, dimana dilakukan kompresi jantung atau Cardiopuonary resuscitation (CPR)? 

Yaitu, di tulang dada setengah bagian bawah. Tekan kuat dan cepat dengan kecepatan 100-120 per menit dengan kedalaman 5-6 cm. 

Pastikan chest recoil, yakni ditekan kemudian dilepas. Karena fungsi jantung itu memompa, tidak hanya menyemburkan darah tapi juga harus menyedot darah untuk menjadi bahan untuk penyemburan berikutnya. 

Berikutnya, meminimalkan interupsi kompresi dada. "Jadi jangan sambil telepon, kita harus konsentrasi pada CPR supaya bisa menyelamatkan korban," kata dr. Raditya.

Posisi tangan adalah tegak lurus dan siku lurus, gunakan punggung dan badan kita untuk menekan. "Karena aslinya berat. CPR 2 menit aja capeknya minta ampun. Karena itu setiap 2 menit minta ganti," ungkapnya.

Jadi, tambah dr. Raditya, complete chest recoil dipompa dan diangkat supaya jantung punya kesempatan untuk mengisi darah sebelum pompa berikutnya. 

"Kemudian tahap airway, buka jalan napas pada orang dewasa. Selama pandemi tahap airway dan briething tidak dilakukan," jelasnya.