Korban Serangan Hiu Berusia 3.000 Tahun Ditemukan di Jepang
Kerangka korban serangan Hiu berusia 3000 (Foto: Laboratorium Antropologi, Universitas Kyoto)

Bagikan:

JAKARTA - Baru-baru ini, beberapa peneliti yang terhimpun dalam tim University of Oxford mengungkapkan penemuan mereka tentang tulang-belulang seorang korban serangan hiu 3.000 tahun lalu di Laut Pedalaman Seto, kepulauan Jepang. Serangan Hiu yang terjadi ribuan tahun silam ini meninggalkan bekas luka mengerikan yang tersebar di seluruh kerangka korban.

Hasil Penelitian dari Journal of Archaeological Science: Reports mengungkapkan, Peneliti dari Oxford, yakni J. Alyssa White dan Profesor Rick Schulting menyelidiki sisa-sisa kerangka pemburu prasejarah itu di Universitas Kyoto yang awalnya ditemukan dan digali dari tanah pemakaman situs arkeologi di Tsukumo, Okayama.

Situs Tsukumo sendiri ditemukan pada tahun 1860, dan penggalian arkeologi pertama dilakukan pada tahun 1915. Sejak itu, para arkeolog telah menemukan lebih dari 170 jenazah manusia terkubur di sana. Tapi kali ini mereka menemukan hal yang berbeda, yakni satu kerangka manusi yang mengalami luka parah. 

Karena minimnya kasus arkeologi disebabkan oleh serangan hiu, maka tim peneliti dari Oxford ini bekerja sama dengan seorang ahli bernama George Burgess yang sekarang menjabat sebagai Direktur Emeritus Program Florida untuk penelitian Hiu.

Tim memperkirakan bahwa orang tersebut meninggal lebih dari 3.000 tahun yang lalu, antara 1370 SM hingga 1010 SM. Para peneliti dengan hati-hati merekonstruksi apa yang terjadi pada korban 3.000 tahun lalu dengan menggunakan kombinasi ilmu arkeologi dan teknik forensik dengan cara mendokumentasikan 790 luka di kerangka korban, seperti luka sayat, tusukan, patah tulang akibat benda tumpul dan luka dalam yang saling bersilangan. Luka seperti itu cocok dengan luka yang ditinggalkan oleh hiu. Sehingga menjadi salah satu bukti langsung paling awal untuk serangan hiu terhadap manusia dan lebih tua dari yang sebelumnya tercatat, yakni tentang korban serangan Hiu 1.000 tahun lalu.

 "Kami awalnya bingung dengan apa yang bisa menyebabkan setidaknya 790 luka dalam dan bergerigi pada pria ini. Cedera itu terutama terbatas pada lengan, kaki, dan bagian depan dada dan perut." ujar peneliti J. Alyssa White dikutip dari artikel University of Oxford edisi 24 Juni 2021.

Para peneliti juga memindai tulang dengan computed tomography (CT) sinar-X dan membuat model 3D korban yang diberi nama Tsukumo No. 24 sehingga mereka dapat memvisualisasikan dan memetakan luka-lukanya.

Hasil rekonstruksi 3D korban serangan Hiu (Foto: Rick J. Schulting, dan J. Alyssa White)

Hasil yang dapat dilihat ialah semua tulang rusuk telah digigit dan retak. Luka terpusat di sekitar pinggul dan kaki kiri, mengisyaratkan bahwa korban mungkin kehilangan pergelangan tangannya saat mencoba mempertahankan diri. Tulang panjang di lengan dan kaki menunjukkan gigitan dari berbagai arah, menunjukkan bahwa hiu terus berputar-putar dan mencabik-cabik korban. 

Tulang pinggul korban yang menunjukan bekas luka (Foto: J. Alyssa White

Dengan kondisi luka yang sedemikian parah, peneliti menyimpulkan korban tidak memungkinan masih hidup setelah diserang karena kehilangan banyak darah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa korban setelah mati tetap berada di laut selama beberapa periode waktu hingga akhirnya mayatnya ditemukan lalu dimakamkan oleh orang-orang yang hidup sezaman dengannya. 

Namun terkait dengan jenis Hiu apa yang menyerangnya, ada dua kemungkinan, yaitu Hiu macan (Galeocerdo cuvier) dan hiu putih besar (Carcharodon carcharias), karena keduanya biasa ditemukan di Laut Pedalaman Seto Jepang dekat lokasi di mana korban itu diserang. 

Masih dikutip dari artikel University of Oxford, Dr. Mark Hudson seorang peneliti di Institut Max Planck, Institut Ilmu Sejarah Manusia di Jena, Jerman menambahkan, "Masyarakat Neolitik Jepang kerap mengeksploitasi berbagai sumber daya laut. Mungkin saja korban sengaja menargetkan hiu dengan cara memancingnya. Bagaimanapun, temuan ini tidak hanya memberikan perspektif baru tentang Jepang kuno, tetapi juga merupakan contoh langka dari para arkeolog yang mampu merekonstruksi episode dramatis dalam kehidupan komunitas prasejarah."