Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah tidak sembarangan memberikan endorsement terkait obat terapi COVID-19. Apalagi gembar-gembor soal obat belum ada pembuktian ilmiah. 

Hal ini dikatakan Netty menanggapi pernyataan Menteri BUMN  yang menyebutkan Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19. Pernyataan Erick Tohir ini kemudian menimbulkan polemik di ruang publik.

“Sebagai pihak yang paling berwenang dalam menangani pandemi, pemerintah harus berhati-hati dalam membuat  pernyataan atau kebijakan. Pastikan  setiap pernyataan yang keluar ke publik harus didukung oleh data dan fakta yang akurat," ujar Netty kepada wartawan, Jumat, 25 Juni.

"Jangan sembarangan meng-endorse sejenis obat sebagai terapi COVID-19, padahal belum melalui rangkaian uji klinis yang standar," sambungnya.

Menurut Netty, BPOM sebagai pemegang otoritas peredaran obat memberikan izin edar obat Ivermectin sebagai obat cacing, bukan terapi pengobatan COVID-19.

“Negara-negara yang pernah memakai Ivermectin sebagai obat COVID-19 sudah menghentikan penggunaannya. Kenapa pemerintah  justru  mengendorse sebagai obat COVID-19 dan bahkan akan menyiapkan produksinya secara massal? Bukankah izin edar yang dikeluarkan BPOM adalah sebagai obat cacing?," sebutnya.

Wakil ketua Fraksi PKS DPR itu berharap penanganan COVID-19 mengedepankan prinsip kejujuran dan transparansi dalam setiap kebijakan, serta langkah apapun yang diambil.

"Pemerintah harus jujur dan transparan   dalam mengambil setiap kebijakan agar tidak menimbulkan polemik dan resistensi di masyarakat," tegas Netty.

Saat ini, tambahnya, masyarakat sedang sensitif dan jenuh dengan keadaan pandemi yang berkepanjangan. Karenanya, pemerintah dan para pejabat harus cermat dan peka dalam menghadapi suasana kejiwaan rakyat. 

"Pejabat pemerintah salah sedikit dalam membuat pernyataan akan menimbulkan kegaduhan publik," kata Netty.

Netty pun meminta pemerintah agar  penanganan pandemi juga berpegang pada prinsip scientific based policy, untuk tujuan keselamatan rakyat, bukan untuk motif politik maupun ekonomi.

"Jangan sampai melonjaknya kasus COVID-19 dijadikan peluang sebagian pihak untuk mencari keuntungan. Jangan ada moral hazard dalam menangani pandemi COVID-19 ini untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi. Pastikan semua kebijakan berprinsip scientific based policy, untuk tujuan  keselamatan  rakyat,” katanya.

Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 5 Mei 2021 lalu diketahui sudah mengirimkan surat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberikan dukungan dalam percepatan penerbitan Emergency Use Authorization (EUA) Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19.

Surat bernomor S-330/MBU/05/2021 tersebut dikirim kepada BPOM untuk mendukung pengajuan permohonan yang sudah lebih dahulu disampaikan oleh PT Indofarma Tbk (INAF) kepada BPOM.

Indofarma adalah BUMN farmasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode INAF, menjadi anak usaha Holding BUMN Farmasi di bawah PT Bio Farma (Persero). Anak usaha Bio Farma lainnya yakni PT Kimia Farma Tbk (KAEF).

Dalam surat yang diteken Rabu, 23 Jun, Menteri BUMN Erick Tohir menyebutkan alasan Ivermectin layak diberikan EUA adalah karena menurut informasi dari Indofarma, obat tersebut efektif untuk mencegah dan membasmi virus SARS-CoV-2 dan telah dipakai di beberapa negara.

"Bahkan National Institute of Health (NIH), lembaga di bawah Departemen Kesehatan Amerika Serikat pada tanggal 15 Januari 2021 telah meningkatkan Ivermectin sebagai obat opsional terapi COVID-19, demikian pula dengan negara Slovakia yang telah menerbitkan EUA Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 dan menggunakannya secara nasional," tulis surat tersebut, dikutip Kamis, 24 Juni.