Bagikan:

JAKARTA - Mantan menteri kesehatan dr Terawan Agus Putranto bersama tim risetnya mengungkap hasil uji klinis fase 2 Vaksin Nusantara dalama rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu, 16 Juni.

Sempat menuai kontroversi, dr Terawan muncul dengan mengklaim vaksin Nusantara yang dikembangkannya dengan teknologi sel dendritik bisa jadi solusi mengatasi berbagai varian baru virus Corona yang bermunculan belakangan ini. Termasuk, virus ganas varian Delta yang lebih cepat menular.

"Soal varian, saya jawab gampang sekali, hanya butuh delapan hari, antigen saya ganti. Karena Antigen itu rekombinan jadi spike S, kita tinggal lihat dia mutasi mana, tinggal gabung-gabung saja," ujar Terawan.

"Tinggal kita tambahi mutasi Inggris, India, maupun Afrika Selatan," sambungnya.

Adapun hasil uji klinis fase 2 vaksin Nusantara, salah seorang peneliti vaksin Nusantara, Letkol Jonny, mengungkap adanya sejumlah kejadian tidak diinginkan (KTD) yang muncul selama uji klinis. Namun, diklaim tidak ada efek yang dikategorikan serius, umumnya hanya efek ringan.

"Hasilnya adalah kejadian tidak diinginkan semua derajat ringan. Terdapat 24 subyek yang mengeluhkan reaksi lokal grade 1," jelas Letkol Jonny

Berikut kejadian tidak diinginkan kategori ringan yang dicatat:

 

Pegal: 17 orang

Memar: 3 orang

Kemerahan: 3 orang

Gatal: 1 orang

Uji klinis vaksin Nusantara sempat tidak mendapat restu BPOM lantaran dinilai menabrak sejumlah pakem ilmiah dan tidak efektif untuk situasi pandemi karena bersifat individual.

Lebih Ganas

Ketua Satuan Tugas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban, menyebut virus COVID-19 varian Delta yang menyebabkan lonjakan kasus di Kudus, Jawa Tengah itu memang lebih mudah menular.

 

Berdasarkan laporan Inggris, kata Zubairi, varian Delta bisa menurunkan efektivitas vaksin COVID-19 hingga 33 persen jika baru disuntik sekali.

 

"Kalau dari data Inggris bahwa pakai vaksin apapun kalau sudah disuntik satu kali kekebalannya terhadap virus Delta ini 33 persen" ujar Zubairi dalam keterangannya, Selasa, 15 Juni.

Zubairi merinci, jika menggunakan vaksin AstraZeneca hanya kebal 60 persen meski sudah dua kali suntikan. Sementara, vaksin Pfizer bisa kebal hingga 80 persen terhadap varian Delta ini. 

 

"Kalau disuntik dua kali pakai AstraZeneca hanya kebal 60 persen, nah kalau pakai Pfizer hanya 80 persen," katanya.

Bahayanya, kata Zubairi, efektivitas vaksin COVID-19 akan menurun terhadap varian Delta ini. 

 

"Jadi menurun sekali (efektivitas), memang luar biasa sekali varian Delta ini ganas, mudah menyebabkan sakit, dan mudah menyebabkan rumah sakit-rumah sakit penuh," katanya.

Oleh karena itu, Zubairi meminta seluruh masyarakat Indonesia waspada supaya tidak bernasib sama seperti India yang mengalami tsunami COVID-19. 

 

"Kita sekarang harus amat sangat waspada karena kita sedang bernasib sama seperti di India di awal, artinya membahayakan banget," jelasnya.

"India kan kasusnya melonjak karena abai, bahasanya komplasensi artinya mulai tidak peduli, mirip juga seperti di Taiwan, di mana orang-orang di sana merasa tidak mungkin tertular karena mereka lockdown di awal, sehingga abai dan karena itu muncul banyak," sambung Zubairi.

Zubairi juga meminta kepada masyarakat agar tidak merasa percaya diri bisa tertular COVID-19 meski sudah divaksin.

 

"Nah, di kita juga sama. Kita tahu bahwa orang-orang yang sudah divaksinasi merasa PD (percaya diri) tidak bisa tertular, meski sudah divaksinasi dua kali, tolong tetap disiplin protokol kesehatan karena kita masih bisa berpotensi terinfeksi," katanya.