Bagaimana COVID-19 Tingkatkan Risiko Penyakit Mental
Ilustrasi foto (Odysseas Chloridis/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Angka krisis penyakit mental sedang menjulang ketika jutaan orang di seluruh dunia dikelilingi oleh kematian, penyakit, dipaksa melakukan isolasi, kemiskinan, dan kegelisahan akibat pandemi COVID-19. Hal tersebut dijabarkan oleh pakar kesehatan mental dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, kekacauan ekonomi itu semua menyebabkan tekanan psikologis," kata Devora Kestel, Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO. 

Dilansir Reuters, Kamis 14 Mei, laporan PBB serta pedoman kebijakan tentang COVID-19 dan kesehatan mental, Kestel menyebut peningkatan jumlah dan tingkat keparahan penyakit mental mungkin terjadi. Oleh sebab itu, pemerintah harus melihat penyakit mental sebagai masalah yang penting dihadapi.

"Kesehatan mental dan kesejahteraan seluruh masyarakat sangat dipengaruhi oleh krisis ini dan merupakan prioritas yang harus segera diatasi," kata Kestel dalam sebuah konferensi.

Siapa paling rentan?

Laporan tersebut menyoroti beberapa wilayah dan bagian masyarakat yang rentan terhadap tekanan mental. Kelompok-kelompok yang sangat rentan dengan tekanan mental adalah anak-anak dan remaja yang terisolasi dari teman dan sekolah, serta petugas layanan kesehatan yang melihat ribuan pasien terinfeksi dan meninggal akibat COVID-19. 

Studi dan survei yang muncul sudah menunjukkan dampak COVID-19 pada kesehatan mental secara global. Para psikolog mengatakan anak-anak cemas dan peningkatan kasus depresi serta kecemasan telah tercatat di beberapa negara.

Selain itu, angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Petugas kesehatan melaporkan banyak kebutuhan akan dukungan psikologis. Di luar sektor kesehatan, laporan WHO mengatakan banyak orang yang tertekan oleh dampak kesehatan langsung dan konsekuensi dari isolasi.

Banyak masyarakat yang mengalami kecemasan akibat takut tertular, sekarat, dan kehilangan anggota keluarga akibat virus corona baru tersebut. Jutaan orang juga tengah menghadapi kekacauan ekonomi, kehilangan atau berisiko kehilangan pendapatan dan mata pencaharian mereka, tambahnya.

Dua perempuan melayani pembeli dalam kondisi pandemi (Jeremy Stenuit/Unsplash)

Masifnya informasi yang salah dan desas-desus tentang pandemi, serta ketidakpastian tentang berapa lama pandemi ini berlangsung membuat orang merasa cemas dan putus asa tentang masa depan. Harapan makin tak pasti.

Namun, hal tersebut justru mendorong para pembuat kebijakan di berbagai negara mengurangi penderitaan besar ratusan juta orang. Kebanyakan dari mereka mengambil kebijakan berupa mengurangi biaya sosial dan ekonomi jangka panjang bagi masyarakat. 

Para pembuat kebijakan diharapkan dapat melakukan beberapa hal untuk menekan angka lonjakan penyakit mental dengan memperbaiki kekurangan dana dalam layanan psikologis. Selain itu, pembuat kebijakan didorong menyediakan layanan kesehatan mental darurat lewat terapi jarak jauh. Misalnya, telekonseling untuk petugas kesehatan.

Pembuat kebijakan juga harus bekerja secara proaktif dengan orang-orang yang diketahui mengalami depresi dan kecemasan. Koneksi harus terus dibangun. Hubungan dengan mereka yang berisiko tinggi melakukan kekerasan dalam rumah tangga akibat kemiskinan akut harus dijaga.