JAKARTA - Sejak lama, ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa isi mimpi dan emosi berhubungan dengan keadaan seseorang saat terjaga. Mimpi aneh yang sarat dengan simbolisme ada kaitannya bagi pemimpi dengan ingatannya yang kuat atau tekanan psikologis sehari-hari yang dihadapi oleh alam bawah sadarnya. Mimpi buruk, di sisi lain, bisa menjadi tanda peringatan dari kecemasan yang mungkin tidak kita sadari dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dilansir dari National Geographic, Selasa 28 April, saat ini ratusan juta orang memutuskan untuk tetap berada di rumah di bawah ancaman penularan COVID-19. Beberapa ahli mimpi percaya bahwa "pengunduran diri" mereka dari lingkungan sehari-hari telah membuat banyak orang memiliki 'kelangkaan inspirasi' yang memaksa pikiran bawah sadar untuk lebih tertarik pada masa lalu dan tentunya memengaruhi jalan mimpi.
Setidaknya, lima tim peneliti dari berbagai lembaga di banyak negara sedang mengumpulkan contoh-contoh kasus dan salah satu temuan mereka sejauh ini adalah bahwa mimpi terkait pandemi diakibatkan oleh stres, self-isolated, dan perubahan pola tidur yang mana membuat pusaran emosi negatif mengatur mimpi yang berjalan.
"Kami biasanya menggunakan REM dan mimpi untuk menangani emosi yang kuat, terutama emosi negatif ... Jelas, pandemi ini menghasilkan banyak stres dan kecemasan," kata Patrick McNamara, seorang profesor neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Boston yang ahli dalam mimpi.
Reaksi psikedelik
Selama bermimpi, stres membuat otak melakukan sebuah perjalanan. Sinyal dan reaksi neurobiologis yang menghasilkan mimpi yang sama dengan efek dari obat-obatan psikedelik, menurut McNamara. Psikedelik mengaktifkan reseptor saraf yang disebut serotonin 5-HT2A, yang kemudian mematikan bagian otak yang disebut korteks prefrontal dorsal.
Hasilnya dikenal sebagai 'disinhibisi emosional' yaitu suatu keadaan di mana emosi membanjiri kesadaran, terutama selama tahap REM, atau ketika kita biasanya bermimpi. Meskipun proses ini terjadi setiap malam, kebanyakan orang biasanya tidak mengingat mimpi mereka.
Hidup di bawah pandemi COVID-19 mungkin mengubahnya karena meningkatnya isolasi diri yang berujung stres, memengaruhi isi mimpi dan memungkinkan beberapa pemimpi mengingat lebih banyak mimpi mereka. Selain itu, kecemasan dan kurangnya aktivitas menurunkan kualitas tidur.
Sering terbangun, juga disebut parasomnia, juga mengakibatkan meningkatnya daya ingat terhadap mimpi. Emosi dan kenangan dari hari sebelumnya juga dapat memengaruhi konten mimpi dan respons emosional seseorang dalam mimpi itu sendiri.
Makin banyak mimpi buruk
Menurut sebuah penelitian yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh Lyon Neuroscience Research Center di Prancis yang dimulai pada Maret, pandemi COVID-19 telah menyebabkan peningkatan 35 persen dalam mengingat mimpi para responden. Para responden melaporkan mimpi buruk 15 persen lebih banyak dari biasanya.
Sebuah studi berbeda yang dilakukan oleh Associazione Italiana di Medicina del Sonno (Asosiasi Obat Tidur Italia) menganalisis mimpi orang-orang Italia yang terkurung selama wabah COVID-19. Banyak orang yang mengalami mimpi buruk dan parasomnia sejalan dengan gejala gangguan stres pascatrauma.
"Tidak mengherankan, beberapa tahun yang lalu ketika kami mempelajari para penyintas gempa L'Aquila 2009, kami menemukan gangguan tidur dan mimpi buruk sangat tergantung pada posisi penyintas dengan pusat gempa," kata Luigi De Gennaro, seorang profesor psikologi.
Hasil dari penelitian De Gennaro yang sedang berlangsung dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa orang yang lebih berisiko akan pandemi seperti perawat, dokter, dan mereka yang memiliki anggota keluarga yang tertular wabah, lebih mungkin mengalami mimpi yang dipengaruhi oleh wabah tersebut.
Mengatasi mimpi buruk
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kebiasaan bangun tidur juga menciptakan kenangan yang memengaruhi isi mimpi. Emosi yang terbawa sejak bangun tidur hari itu dapat memengaruhi apa yang kita impikan nantinya dan bagaimana perasaan kita tentangnya di dalam mimpi itu sendiri.
Mengurangi atau membatasi kegiatan sehari-hari akibat self-isolated dapat membatasi isi mimpi atau menyebabkan alam bawah sadar meraih ingatan yang lebih dalam. Namun, para peneliti Finlandia secara ilmiah mendukung gagasan bahwa ketenangan pikiran mengarahkan pada 'pengaruh mimpi positif' di mana para pemimpi merasa senang dengan apa yang terjadi dalam mimpi mereka.
Sebaliknya, kecemasan terkait dengan 'mimpi negatif' menghasilkan mimpi berikutnya yang menakutkan atau mengecewakan. Deirdre Barrett, asisten profesor psikologi di Universitas Harvard, mengumpulkan dan menganalisis mimpi dari para penyintas peristiwa traumatis.
Barrett menemukan bahwa mimpi orang yang dalam keadaan trauma cenderung mengikuti dua pola: mereka secara langsung membuat ulang versi peristiwa traumatis atau mimpi yang indah namun dengan unsur-unsur simbolis yang mendukung trauma.
Dalam sampel terbaru terhadap penelitian mimpi virus corona, yang mulai dikumpulkannya pada Maret, beberapa responden melaporkan bahwa mereka bermimpi menangkap virus atau sedang sekarat karena virus. Sedangkan data lain yang dikumpulkan Barrett, para responden mendapati rasa takut akan virus dengan elemen metaforis, seperti serangga, zombie, bencana alam, atau monster.
BACA JUGA:
“Kecuali mimpi petugas kesehatan, kami tidak melihat gambaran visual yang jelas tentang orang yang berjuang untuk bernapas dengan ventilator ... Virus ini tidak terlihat, dan saya pikir itu sebabnya ia berubah menjadi banyak hal yang berbeda,” kata Barrett.
Bagi mereka yang mengalami mimpi buruk COVID-19, ada bukti yang berkembang bahwa apa yang disebut 'teknik penguasaan mimpi' dapat mengurangi penderitaan mereka. Ketika Barrett mengobati pasien dengan cara menyusun mimpi mereka sendiri, dia sering bertanya bagaimana mereka ingin mimpi buruk itu berbeda.
Setelah seorang pasien mengetahui arah baru mimpinya, mereka dapat menuliskannya dan melatihnya sebelum tidur. Arah baru tersebut berkisar dari solusi yang lebih nyata, seperti melakukan perlawanan atau menghilangkan hal yang ditakutkan.