COVID-19 Kembali Panaskan Hasrat Catalunya untuk Pisah dari Spanyol
Ilustrasi foto protes di Catalunya (Kylli Kittus/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Separatis Catalunya menggunakan krisis COVID-19 sebagai motif baru untuk berdebat terkait kemerdekaannya dari Spanyol. Beberapa orang terang-terangan mengatakan pandemi akan menyebabkan lebih sedikit kematian seandainya wilayah timur laut yang kaya itu berpisah dari Spanyol.

Dilansir dari Reuters, Kamis 30 April, Catalunya merupakan daerah yang memiliki jumlah kematian terbanyak akibat COVID-19 setelah Madrid. Para separatis mengatakan pemerintah pusat seharusnya membuat aturan yang lebih tegas dan lebih awal melakukan lockdown.

Mereka juga mengeluh bahwa pembelian masker dan peralatan kesehatan lain yang terpusat membuatnya sulit untuk diperoleh. "Spanyol merupakan (negara) pengangguran dan kematian. Catalunya hidup dan (memiliki) masa depan," kata Ketua Kamar Dagang Barcelona Joan Canadell.

Meritxell Budo, juru bicara Pemerintah Daerah juga membuat marah banyak orang di Spanyol. Pada saat Spanyol menghadapi kenyataan bahwa negara tersebut berada di urutan ketiga atas angka kematian tertinggi akibat COVID-19 di dunia, ia memperburuk suasana dengan mengatakan tidak akan ada 'begitu banyak kematian' di Catalunya jika mereka tidak bersama Spanyol.

Jumlah kematian akibat COVID-19 di Spanyol mencapai 24.275, di mana 4.905 di antaranya berada di Catalunya. Krisis kesehatan telah menjungkirbalikkan politik Spanyol, menggusur separatisme Catalunya sebagai tema dominan dalam beberapa tahun terakhir.

Tetapi, deklarasi kemerdekaan yang dilakukan pada 2017, memicu krisis besar dan masih sangat banyak dalam pikiran semua orang. Para pemimpin daerah di Catalunya pun masih berharap agar Catalunya berdiri sendiri.

"Pandemi menunjukkan perlunya adanya negara (Catalunya)," kata Marta Vilalta, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Esquerra Republicana de Catalunya (ERC). 

Vilalta berpendapat bahwa seandainya dapat bertindak sendiri, Catalunya akan jauh lebih baik. Ia juga mengkritik pemusatan layanan kesehatan di Madrid yang justru memperparah keadaan. Catalunya sendiri memiliki 7,5 juta populasi dari 47 juta keseluruhan Spanyol. Daerah tersebut memiliki bahasanya sendiri yaitu Catalan dan berada di urutan kedua setelah Madrid dalam kontribusi PDB.

Pemerintah Catalunya melakukan lockdown penuh wilayah itu pada 13 Maret. Dua hari kemudian, pemerintah mengatakan hanya pekerja penting yang boleh meninggalkan rumah. Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez mengeluarkan aturan lockdown nasional pada 14 Maret tetapi tidak melarang pekerjaan yang tidak penting sampai 30 Maret. "Spanyol terus menerus melakukan kesalahan," kata sekretaris regional Catalunya Miquel Buch.

Sebanyak 47,1 persen masyarakat Catalunya menentang kemerdekaan dan 44,9 persen mendukung, menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan antara 10 Februari dan 9 Maret oleh lembaga pemerintah Catalunya. 

Sepanjang krisis COVID-19, organisasi akar rumput separatis Catalunya telah mendesak untuk melakukan protes untuk menuntut lockdown lebih ketat dan menolak kehadiran anggota militer di Catalunya yang membantu memerangi virus corona. Miquel Iceta, politisi Spanyol yang menentang kemerdekaan Catalunya, mengatakan perlunya pemerintah Spanyol dan Catalunya untuk melanjutkan pembicaraan bilateral yang terganggu oleh pandemi.

Iceta juga memperingatkan bahwa konfrontasi sistematis yang dilakukan Catalunya terhadap Pemerintah Spanyol tidak membantu. Joan Esculies, profesor sejarah di Universitas Terbuka Catalunya, mengatakan protes dari separatis dapat diprediksi tetapi berisiko karena pemerintah Catalunya juga berjuang dalam beberapa aspek, seperti wabah COVID-19 di panti jompo. Dia berharap jumlah orang yang mendukung atau menentang kemerdekaan tidak banyak berubah setelah pandemi.