Bagikan:

JAKARTA - Berbagai cara dilakukan oleh para politisi untuk berkampanye, menyampaikan visi dan misinya semanis mungkin. Selama berdekade-dekade, kampanye dilakukan dengan cara konvensional seperti berkeliling mendatangi satu per satu daerah, atau yang lebih modern lagi lewat TV dan radio. Cara tersebut masih ada hingga kini. Namun, cara tersebut memiliki waktu yang terbatas. Media sosial dapat diakses oleh semua orang kapan saja, membuat para politisi memilih media sosial untuk berkampanye. 

Ketika Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, salah satu calon presiden (capres) yang juga terpilih sebagai presiden AS, Donald Trump, sangat aktif di media sosial. Lewat akun Twitter pribadinya, Donald Trump "rajin" menyampaikan hal apa yang akan ia lakukan dan apa saja kekurangan rivalnya, Hillary Clinton. 

Donald Trump dikenal akan tweet-nya yang kontroversial. Ia kerap menyebarkan kebencian, pernyataan bersifat rasis, dan mengatakan fakta yang ada adalah kebohongan dan kebohongan adalah kebenaran. Sayangnya, berita benar atau salah tidak bisa ter-filter oleh platform media sosial itu sendiri. 

Menjelang Pilpres AS 2020, banyak pengguna media sosial mulai bersiap serang-serangan apa yang akan tersebar. Namun pada Oktober 2019, Twitter membuat gebrakan dengan mengumumkan bahwa mereka akan melarang iklan yang bersifat politik. Hal tersebut disampaikan langsung oleh CEO Twitter Jack Dorsey lewat akun pribadi Twitter-nya. 

"Sementara iklan di internet luar biasa kuatnya dan sangat efektif bagi pengiklan, kekuatan tersebut membawa risiko yang signifikan untuk politik," ujar Dorsey, dilansir dari BBC

Tak hanya Twitter, Google menyusul membuat peraturan yang hampir sama. Dikutip dari Vox, pihak Google mengatakan akan membatasi pengiklan untuk menyebar iklan politiknya di seluruh produk Google, seperti di hasil pencarian Google dan YouTube. Pengiklan politik masih bisa menargetkan audiens berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kode pos, tetapi tidak bisa memilih kelompok masyarakat seperti apa yang mereka inginkan. 

Google juga nantinya mengharuskan pengiklan memverifikasi kelayakan, apakah pihak yang hendak memasang iklan memang berwenang beriklan politik di negara terkait. Selain itu, Google juga melakukan proses verifikasi iklan politik, termasuk mengecek apakah informasi tersebut benar atau tidak. 

Beda aturan lagi yang dilakukan oleh Facebook. Platform besutan Mark Zuckerberg ini tidak melarang iklan bermuatan politik, namun hanya meningkatkan keamanan Facebok, khususnya pada konten bermuatan politk. Alih-alih melarang iklan politik, Zuckerberg menyuarakan dukungan untuk meningkatkan transparansi tentang bagaimana iklan ditayangkan, berapa dana yang dihabiskan, dan di mana saja iklan tersebut tersebar. 

“Saya percaya bahwa pendekatan yang lebih baik adalah usaha meningkatkan transparansi. Iklan di Facebook sudah lebih transparan dari pada yang lain. Kami memiliki arsip iklan politik sehingga siapa pun dapat memeriksa iklan yang tersebar," ungkap Mark Zuckerberg, dikutp dari TechCrunch. 

Aturan dari Facebook tersebut menuai kritik karena Facebook dianggap tidak mendukung pemberantasan kampanye hitam dan berita palsu. Padahal Facebook sendiri sudah mengalami berbagai kontroversi sebelumnya seperti data pengguna yang bocor dan propaganda Trump yang tersebar luas saat masa kampanye Pilpres AS 2016. Namun Zuckerberg berdalih ia tidak akan menutup kesempatan orang untuk bebas berbicara. 

“Kami tidak melakukan pengecekan terhadap iklan politik. Kami melakukan tersebut bukan untuk membantu politisi, tetapi karena kami pikir orang-orang harus bisa menyuarakan dirinya. Jika terdapat konten yang bernilai berita, kami juga tidak akan menghapusnya bahkan jika itu bertentangan dengan standar kami," ujar Mark Zuckerberg dikutip dari Vice. 

Berdasarkan jurnal penelitian yang diterbitkan Universitas Darmouth berjudul Fake news, Facebook ads, and Misperceptions Assessing Information Quality in the 2018 U.S. Midterm Election Campaign', terungkap bahwa pemilih di AS sebagian besar masih mengonsumsi berita palsu dan masih terpapar iklan politik yang bertarget. Kelompok-kelompok penyebar iklan tersebut cukup besar dan dengan mudah memengaruhi masyarakat. 

Penelitian tersebut mengambil data dari YouGov yang menunjukkan bahwa paparan berita palsu masyarakat AS mengalami penurunun. Pada musim gugur 2016, sebanyak 27 persen masyarakat AS membaca berita dari laman berita palsu dan pada musim gugur 2018 turun drastis menjadi 7 persen. 

Namun, penurunan paparan berita palsu bersifat sementara karena pada 2017-2018 pemilu sudah usai dan akan kembali meningkat menjelang pemilu selanjutya. Oleh karena itu, regulasi-regulasi dalam penayangan iklan atau konten memang harus lebih ketat mengingat jumlah konsumsi Facebook jelang pemilu lebih banyak dan nantinya Facebook menjadi tempat bagi orang-orang untuk mengunggah berita dari laman berita palsu.

Di sisi lain, tidak adil juga jika masyarakat menuntut platform media sosial untuk memfilter tayangan suatu konten. Karena platform tersebut hanyalah wadah penyampai informasi. Masyarakat sendirilah yang harus menilai apakah ia terima informasi tersebut atau tidak percaya lalu mengabaikannya.