JAKARTA - Masyarakat dinilai harus memahami pentingnya literasi dalam bersosial media. Menurut, Anggota DPR Komisi I DPR Helmy Faishal Zaini, pemahaman ini harus betul-betul ditanamkan dalam diri masing-masing, agar terhindar dari berita bohong.
"Pertama harus memastikan bahwa informasi itu adalah informasi yang benar. Kedua harus memastikan bahwa harus melakukan saring sebelum sharing, harus melakukan filter informasi, ini apakah benar atau tidak, baik atau buruk. Setelah melakukan saring baru kita bisa melakukan sharing dan yang ketiga adalah melakukan tabayun, klarifikasi," kata Helmy dalam diskusi Kominfo bersama DPR-RI bertemakan "Berkah Ramadan, Bijak Bermedia Sosial", dikutip Jumat 23 April.
Menurutnya, langkah menyebar informasi tanpa dilengkapi dengan literasi media dapat berpotensi misalnya mengumbar aib seseorang atau menyebarkan berita bohong. Padahal, menyebarkan berita bohong merupakan bagian dari kejahatan.
"Di bulan puasa ini, bulan suci yang penuh dengan kemuliaan ini, marilah menjadikan sosial media ini sebagai ladang kebaikan, bukan justru sebaliknya," katanya.
BACA JUGA:
Sementara, pegiat literasi Fariz Alniezar menyebut era media sosial akan menyebabkan matinya kepakaran. Sebab semua orang dapat menjadi komentator.
"Tahun 2021 Indonesia dinobatkan oleh Microsoft sebagai negara dengan indeks kecerewetan atau ketidaksopanan paling tinggi se-Asia Pasifik untuk netizen-netizennya," katanya.
Ia menjelaskan setidaknya ada tiga indikator kenapa netizen Indonesia dianggap tak sopan. Diantaranya karena hoaks, penipuan, dan ujaran kebencian.
"Saya pernah membandingkan akun-akun yang sifatnya ghibah dan seterusnya jauh lebih diminati. Sementara kondisi milenial di akar rumput kita itu kondisinya seperti ini, usia 17-36 tahun lebih sebetulnya kalau di media sosial yang di inginkan itu apa, tidak lari dari tiga hal musik, kemudian film, sama agama, kalau 3 ini jadi jadi konten udah jadi biduan lah pokoknya," katanya.