Sejumlah Kota di Dunia Kembali <i>Lockdown</i>, Anies Minta Warga Tak Mudik: Jangan Sampai Terjadi di Jakarta
ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mewanti-wanti soal potensi lonjakan kasus COVID-19 di Ibu Kota karena keinginan masyarakat untuk mudik pada lebaran tahun ini.

Beberapa ibu kota di negara lain, kata Anies kembali menerapkan karantina wilayah (lockdown) karena tren kasus COVID-19 di daerahnya kembali meningkat. Seperti New Delhi di India, Beijing di China, hingga Manila di Filipina.

"Di luar Indonesia kita sudah menyaksikan ada lompatan (kasus COVID-19) yang sangat signifikan. Kita berharap jangan sampai peristiwa yang sama terjadi di Jakarta," kata Anies di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, Selasa, 20 April.

Karena itu, selain larangan mudik lebaran, Anies menyebut saat ini pemerintah tengah membahas pengendalian pergerakan penduduk di lintas wilayah. Nantinya, pemerintah pusat akan mengeluarkan aturan yang terintegrasi. 

"Kami masih menunggu arahan dari pemerintah pusat. Setelah muncul detailnya, nanti akan siapkan supportnya di Jakarta," ujar Anies.

Anies kembali menegaskan agar masyarakat tak bepergian ke luar kota khususnya melakukan mudik saat lebaran nanti. Dikhawatirkan tindakan itu malah membuat virus corona semakin meluas penularannya.

"Tahun ini adalah tahun ujian dan kita menghadapi wabah. Mari kita disiplin menjaga diri dan disiplin untuk mengurangi pergerakan termasuk pada saat musim lebaran ini," jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti mengaku tren kasus COVID-19 di Jakarta pada bulan Maret sempat menurun. Namun, selama dua pekan terakhir, pertambahan kasus baru kembali meningkat.

"Kita sudah turun drastis, tetapi seminggu dua minggu terakhir, kasus harian kita mulai terjadi peningkatan. Harian kita sudah mulai meningkat 200 atau 200 lebih, bergerak terus," kata Widyastuti.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kasus harian di Ibu Kota kembali tinggi. Widyastuti mengatakan, angka tes COVID-19 dengan metode PCR masih tinggi, yakni di atas 68 ribu dalam satu minggu.

Kemudian, tes melalui rapid antigen kita bisa mencapai 3 ribu per hari. Jika dalam tes rapid antigen ditemukan hasil positif, maka yang bersangkutan mesti mengulangi dengan tes PCR.

Dengan banyaknya warga yang mengikuti tes menggunakan rapid antigen dan memiliki hasil negatif, Widyastuti khawatir hal itu akan membuat warga tersebut meremehkan penerapan protokol kesehatan.

"Kami khawatir warga kita begitu dites rapid antigen negatif, terus merasa tenang. Itu yang kita sedikit khawatir. Kita pesankan jangan terlena dengan pemeriksaan rapid antigen. Jangan terlena begitu dites hasilnya negatif, terus merasa sehat," pungkasnya.