Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menjadi sorotan. Pasca kontroversi hilangnya frase agama dalam rancangan peta jalan pendidikan nasional (PJPN), kementerian yang dipimpin Nadiem Makarim itu kembali mendapat sorotan terkait kebijakannya.

Yakni, dihapuskannya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021. Dalam Pasal 40 ayat 3 PP ini tidak tercantum Pancasila sebagai mata pelajaran, sedangkan Bahasa Indonesia tidak tertulis tegas, hanya disebut bahasa saja.

Seiring berhembusnya wacana reshuffle kabinet, PPP sebagai partai koalisi mengingatkan jajaran kabinet agar tidak terus-menerus menciptakan beban politik dan ruang prasangka tidak baik terhadap Presiden Jokowi dan pemerintahannya.

Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, menilai semestinya ada koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga atas hal-hal yang sensitif atau menarik perhatian publik. Seperti kebijakan-kebijakan yang kontroversial.

"Ini tentu bisa dimulai dalam rapat kabinet atau rapat koordinasi dibawah Kemenko yang bersangkutan. Saya yakin dengan cara seperti ini maka sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau peraturan akan lebih baik," ujar Arsul, Sabtu, 17 April.

Menurutnya, problem sinkronisasi dan harmonisasi ini timbul karena masih rendahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintahan terkait. Meski ada kementerian koordinator (kemenko), namun level koordinasi yang tinggi seperti yang diharapkan belum tercipta.

"Sebagai contoh rendahnya level koordinasi ini, kasus tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran (kuliah, red) dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021. Padahal dalam Pasal 35 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk ke dalam kurikulum perguruan tinggi," kata wakil ketua MPR itu.

Arsul mengatakan, harus ada koordinasi yang lebih baik antar kementerian dalam penyiapan PP 57 Tahun 2021. Diantaranya, Kemendikbud sebagai pemrakarsa, Kemenkumham sebagai koordinator legislasi Pemerintah dan Sekretariat Negara sebagai pintu terakhir sebelum sebuah produk aturan ditandatangan Presiden. 

"Maka sisi pandang yang melihat tidak sinkron dan harmonisnya PP diatas dengan UU-nya bisa dicegah. Jika semuanya sinkron maka beban politik dan ruang suudzon dari elemen masyarakat dengan sendirinya akan dapat diminimalisir secara signifikan, tutup Arsul.