Bagikan:

JAKARTA - Pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI) Sholahudin mengungkap adanya upaya penyebaran pemahaman radikal secara daring. Propaganda ini juga memanfaatkan media sosial maupun aplikasi pesan singkat.

Dirinya mencatat, banyak kelompok teroris yang aktif membuat channel di aplikasi Telegram atau aplikasi chat tertutup per 2018. Hanya saja, saat ini jumlahnya terus meningkat.

"2019 naik jadi 220 (channel, red), WA grup juga naik dan seterusnya," kata Sholahudin dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan secara daring, Jumat, 16 April.

Sholahudin mengungkap alasan mengapa teroris kemudian beralih ke media sosial untuk menyebarkan paham radikal. Pertama, karena pemerintah telah menetapkan UU Terorisme yang baru yaitu UU Nomor 5 Tahun 2018.

Perundangan ini dianggap memperluas pemidanaan bagi pelaku teroris. Alasan berikutnya, karena kebijakan pemerintah lebih agresif ketimbang sebelumnya.

"Akibat tekanan di dunia offline, kelompok radikal ini lari ke dunia online," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Intelijen Negara juga pernah menyebut anak muda menjadi target utama untuk direkrut oleh kelompok teroris. Apalagi, perekrutan anggota baru biasanya dilakukan melalui media sosial.

"Memang milenial ini menjadi target utama dari mereka (kelompok teroris, red)," kata Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube, Sabtu, 3 April.

Tak hanya itu, milenial menjadi target karena mereka seringkali tidak kritis atau menelan mentah-mentah ajaran yang dibuat sedemikian mungkin oleh kelompok ini. 

"Maka, kita selalu menyampaikan kepada kaum milenial maupun masyarakat second liner di luar milenial untuk melakukan ricek serta tanyakan juga pada ahlinya dengan maksud supaya kajian ini komperhensif," ungkapnya.

Lebih lanjut, Wawan juga meminta para orang tua untuk terus mengontrol anak-anaknya terutama yang masuk dalam usia milenial. Termasuk mengontrol bacaan yang sedang mereka baca.

Hal ini, kata Wawan, hanya bisa dilakukan oleh orang tua masing-masing. Sebab, mereka lebih mengetahui watak anak-anaknya dibanding orang lain.

"Yang biasanya riang jadi pemurung, yang biasanya enggak pergi kemana-mana jadi tahu-tahu kalau pulang minta uang. Dia (anak-anak, red) hanya bicara dengan networking yang ada di media sosial karena dia di-drive di situ untuk melakukan apapun," ujarnya.

"Oleh karena itu kita selalu dorong, bacaan-bacaan kaum milenial itu dikontrol oleh orang tuanya. Karena hanya orang tuanya yang paling paham," imbuh Wawan.

Lebih lanjut, selain orang tua, pihaknya juga akan terus berupaya melakukan patroli 24 jam untuk memantau kegiatan milenial di dunia maya. "Dan sudah banyak juga yang kita ingatkan," pungkasnya.