JAKARTA -Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim membantah jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menyebut QSE adalah alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter.
"Saya menyatakan penolakan keras," ujar Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dilansir ANTARA, Kamis, 12 Desember.
Transaksi pembelian valuta asing oleh terdakwa Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya, kata dia, bukan transaksi fiktif dan juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana, melainkan transaksi pembelian valuta asing.
Dijelaskan valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa pun sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka.
Helena menegaskan keuntungannya kurang lebih sama dengan keuntungan jasa money changer atau penukaran uang lainnya.
"Tidak ada suatu keuntungan lebih sehingga dapat dianggap sebagai dasar argumentasi bahwa saya dan/atau PT QSE berperan sebagai alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter," ucap dia.
Helena mengakui sudah melakukan kelalaian administrasi sebelum mengenal Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Meskipun demikian, dia mengaku tidak ada urusan dan tidak mau tahu urusan smelter Harvey dengan PT Timah Tbk.
"Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh jaksa penuntut umum. Hanya karena saya seorang figur publik, dijadikan chopping board, talenan oleh jaksa penuntut umum," kata Helena.
BACA JUGA:
Pada Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.
Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.
Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.
Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.