Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan (Menhan) hingga Panglima TNI. Langkah ini dilakukan usai Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan lembaga ini berwenang mengusut kasus korupsi di ranah militer.

"KPK dengan adanya putusan MK akan melakukan koordinasi dengan Menhan dan Panglima TNI untuk menindaklanjuti secara lebih teknis pengaturan pelaksanaannya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 29 November.

Ghufron mengatakan Pasal 42 UU KPK memang mengatur kewenangan koordinasi dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Tetapi dalam pelaksanaan jika subjek hukum terdiri dari sipil dan TNI perkaranya di split, yang sipil ditangani oleh KPK sedangkan yang TNI disidang dalam peradilan militer. Kondisi ini mengakibatkan potensi disparitas bisa terjadi juga peradilan tidak efektif dan efisien," tegasnya.

Karena itu, putusan ini diharapkan bisa menegaskan kewenangan KPK. Apalagi, komisi antirasuah menjadi pihak terkait yang mendukung pemberian fakta kendala penegakan hukum terhadap perkara korupsi yang melibatkan sipil dan anggota TNI.

"Putusan MK ini telah menguatkan dan menegaskan kewenangan KPK untuk melakukan proses hukum terhadap perkara koneksitas yang dari awal pengungkapannya dilakukan oleh KPK," ujar Ghufron.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan KPK berwenang mengusut kasus korupsi di ranah militer hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Asalkan, kasus tersebut dimulai oleh komisi antirasuah.

Penegasan ini merupakan pemaknaan baru terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. MK mengabulkan sebagian perkara uji materi Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Gugum Ridho Putra selaku advokat.

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam sidang pengucapan putusan dilansir ANTARA, Jumat, 29 November.

Pasal 42 UU 30 Tahun 2002 tadinya hanya berbunyi, "KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."

Bunyi ini kemudian berubah karena dianggap MK menganggapnya bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945.

Sehingga, ditambahkan frasa penegasan pada bagian akhir yang berbunyi, "Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK."