JAKARTA - Polda Metro Jaya diminta untuk mengedepankan prinsip pembuktian yang jelas dalam penanganan kasus dugaan pemerasan dengan tersangka mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Sebab, perkara tersebut hingga kini belum menemui kejelasan hukum.
"Jika melihat dari kacamata hukum pidana, kasus ini tergolong sederhana. Pembuktian dalam perkara pidana cukup dilakukan dengan memenuhi dua alat bukti yang sah,” ujar praktisi hukum dari Universitas Mataram, Sirra Prayuna kepada media, Kamis 28 November.
Menurutnya, prinsip pembuktian yang jelas harus diterapkan. Sehingga, proses hukum perkara dugaan pemerasan ini tak akan tekatung-katung.
Diketahui, kasus tersebut sudah bergulir lebih dari satu tahun. Tercatat, Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka pada 23 November 2023.
“Dalam konteks pembuktian, jika ada yang memeras tentu ada yang diperas. Lalu, harus diketahui kapan peristiwa itu terjadi, di mana tempatnya, bagaimana caranya, serta siapa saja saksi yang melihat dan mendengar langsung. Itu semua adalah elemen penting yang bisa dibuktikan secara hukum,” ucapnya.
Sejauh ini, Polda Metro Jaya sudah 123 saksi dan 11 ahli diperiksa terkait kasus ini. Namun, berkas perkara masih dinyatakan belum lengkap meski telah berulang kali dilimpahkan penyidik ke kejaksaan.
“Jika hingga saat ini belum ada bukti yang cukup maka demi keadilan, penyidik perlu mempertimbangkan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP,” jelas Sirra.
BACA JUGA:
Sirra Prayuna juga menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum. Menurutnya, hak Firli sebagai subjek hukum harus dihormati sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
“Dalam Piagam Hak Asasi Manusia dan UUD 1945, setiap orang dijamin untuk mendapat perlakuan hukum yang adil dan proporsional. Hak konstitusional Firli Bahuri sebagai warga negara harus dihormati, termasuk hak untuk mendapatkan kejelasan hukum,” tegasnya.
"Harus murni soal hukum, bukan soal lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak bisa seseorang disandra statusnya oleh sebab kekuarangan alat bukti," pungkasnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita mengatakan dalam menetapkan tersangka harus ada minimal 2 alat bukti permulaan yang cukup. Alat bukti permulaan yang cukup artinya harus sesuai dengan standar-standar operasional hukum acara.
"Jadi bukti yang dikumpulkan Polda itu selama ini tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur Hukum acara bukti permulaan cukup, jadi berarti belum cukup. Saksi ada tapi dia tidak melihat, tidak mendengar, tidak mengalami. Saksi-saksinya hanya katanya, 'saya dengar dari si Anu, saya dengar dari si Anu', katanya lah-katanya lah. Ini namanya testimonium de auditu saksi yang hanya katanya-katanya, ini nggak boleh," kata Romli