JAKARTA - Kelompok pejuang Palestina Hamas mengkritik keputusan Departemen Keuangan AS yang memberikan sanksi kepada para pemimpin seniornya, dengan menyebutnya sebagai penegasan dari posisi permusuhan pemerintahan Biden terhadap rakyat Palestina.
Hamas melalui pernyataan seperti yang dilaporkan Anadolu menggambarkan langkah AS sebagai konfirmasi atas perilaku kriminal Amerika yang bias terhadap pendudukan fasis (Pemerintah Israel) dan kejahatan terhadap rakyat Palestina.
Dilansir ANTARA, Rabu, 20 November, Hamas menegaskan sanksi yang dijatuhkan Departemen Keuangan AS berdasarkan pernyataan dan dasar yang menyesatkan dan palsu yang bertujuan untuk merusak citra para pemimpin gerakan yang bekerja untuk kepentingan rakyat mereka, perjuangan mereka, dan hak mereka untuk melawan (pendudukan) Israel.
Daftar sanksi AS, lanjutnya, juga mengabaikan para pemimpin Israel yang melakukan kejahatan perang paling keji dan menggunakan uang serta segala cara untuk melakukan genosida paling keji dalam sejarah.
Kelompok perlawanan Palestina itu meminta agar Pemerintahan AS meninjau kebijakannya, menghentikan keberpihakan yang buta terhadap Israel, dan menahan Israel dari kejahatan-kejahatannya, agresi, dan pelanggaran-pelanggaran luas terhadap hukum internasional dan kemanusiaan.
Sebelumnya pada Selasa, Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi terhadap enam pemimpin senior Hamas karena diduga memfasilitasi “kegiatan teroris” dan mentransfer dana ke kelompok tersebut di Gaza.
BACA JUGA:
Anggota Biro Politik Hamas di Gaza, Basem Naim, dan Ghazi Hamad, termasuk di antara yang tercantum dalam daftar baru sanksi terhadap Hamas.
Pengumuman Amerika terhadap Hamas bukanlah yang pertama dalam menjatuhkan sanksi kepada para pemimpinnya, karena beberapa pemimpin senior dan puncak Hamas sudah masuk dalam daftar sanksi Amerika.
AS, sekutu utama Israel dan pemasok senjata selama perang genosida yang sedang berlangsung di Gaza merupakan salah satu dari beberapa mediator antara Hamas dan Tel Aviv yang berupaya mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza, bersama dengan Mesir dan Qatar.
Namun upaya mediasi gagal karena Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu menolak menghentikan perang.