JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) khusus yang menangani penegakan hukum pemberantasan mafia tanah. Dia mendukung mafia tanah dimiskinkan.
"Menurut saya, perlu dibentuk satgas khusus yang serius dalam memberikan sanksi tegas kepada mafia tanah. Satgas ini akan menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik mereka,” ujar Dede Yusuf, Jumat, 1 November.
Dede menilai, satgas penegakan hukum mafia tanah diperlukan untuk mempermudah koordinasi antara Pemerintah dengan aparat penegak hukum. Ia berharap Satgas ini bisa menjadi terobosan dalam pemberantasan mafia tanah karena ancaman hukumannya cukup signifikan bagi pelaku.
"Kolaborasi menjadi kunci untuk menangani masalah mafia tanah. Sehingga harus ada koordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang kompeten dalam hal ini dan harus ada komitmen bersama, tidak bisa dikerjakan sendirian," katanya.
Menurut Dede, mafia tanah kerap terjadi akibat kurang adanya efek jera dalam penegakan hukum bagi pelaku. Oleh karena itu, dia menilai, upaya pemiskinan bisa dilakukan dengan delik TPPU.
"Kita lihat ide ini bagus, prinsipnya kita dukung. Tinggal bagaimana koordinasi dengan pihak penegak hukum karena bagaimanapun juga Menterinya kan tidak bisa melaksanakan hukum, paling kan mencabut izin," kata Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.
Dari laporan Kementerian ATR/BPN kepada Komisi II DPR, jaringan mafia tanah ini bergerak secara terstruktur dan sistematis sehingga perlu ada penegakan hukum yang kuat. Ada beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab sulitnya penumpasan mafia tanah selama ini.
“Faktor tidak terukur dengan baik, tidak terdata dengan baik, tidak terkawal dengan baik atau mungkin ada oknum. Selama ini mungkin jerat hukumnya juga masih terlalu biasa, paling ancaman hukuman 5 tahun atau denda berapa," terang Dede.
"Padahal kalau menurut Menteri itu, mafia tanah ini ada persatuan mafia tanahnya. Ada kaya organisasinya. Inilah yang membuat mereka patut dimiskinkan," tambahnya.
Dede mengatakan, mafia tanah sudah menjadi masalah yang mengakar dan menghambat stabilitas agraria di Indonesia. Menurutnya, praktik mafia tanah bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga sering kali berdampak pada masyarakat luas yang kehilangan hak atas tanah mereka.
"Sementara yang dirugikan sangat banyak, makanya kemarin Menteri (ATR) menyampaikan untuk menggunakan deliknya adalah pencucian uang atau TPPU," kata Dede.
Dede menambahkan, jika menggunakan jerat hukum TPPU berarti harus ada laporan tentang aliran dana pelaku dan laporan keuangan dari PPATK. Sebab kasus mafia tanah ada beberapa jenis, termasuk yang merugikan negara lewat penguasaan ilegal kelompok tertentu terhadap tanah.
Dede bilang, pemilik tanah kerap tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) namun mereka membuat usaha di atas tanahnya. Modus operandi mereka sering kali melibatkan pemalsuan dokumen, penggelapan, dan pendudukan ilegal. Dede mengatakan, hal tersebutlah yang merugikan negara dengan nominal yang tidak sedikit.
"Pajak tidak dibayar, tidak punya HGU tapi produksi jalan terus. Itu kan banyak sekali perkebunan dan pertanahan yang mungkin itu milik negara, milik rakyat," kata mantan Wagub Jawa Barat ini.
Dede membeberkan, menurut data dari Satgas Anti Mafia Tanah, sebagian besar kasus melibatkan pemalsuan dokumen (66,7 persen), diikuti oleh penggelapan (19,1 persen) dan pendudukan ilegal (11 persen).
Dede mengatakan, perihal tanah ini menyangkut masalah kedaulatan negara, di mana sebuah negara itu ada karena memiliki tanah, masyarakat, dan penghasilan sumber daya. Artinya jika tanah hanya dikuasai oleh segelintir orang maka akan banyak rakyat yang belum sejahtera.
"Rasanya nggak fair sebagai sebuah negara kehidupan berbangsa dan bernegara itu hanya ditentukan oleh segelintir orang yang menguasai jutaan hektar lahan," kata Dede.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid berencana menjerat mafia tanah dengan delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Upaya pemiskinan mafia tanah dinilai penting agar memberikan dampak besar.
BACA JUGA:
Untuk memulai langkah tersebut, Pemerintah akan berkoordinasi intensif dengan penegak hukum di Indonesia seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).