Terorisme Dapat Muncul dari Perkembangan Tafsir Keagamaan yang Ekstrem
Aparat bersenjata jaga gereja saat ibadah Paskah di Pekanbaru (Vera lusiana/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Peristiwa terorisme dapat muncul sebagai respons pada persepsi terhadap ketidakadilan yang terjadi, serta didasarkan pada pemahaman dan tafsir agama yang dipegang oleh pelaku penyebar teror.

Demikian dikatakan Kepala Pusat Kajian Toleransi dan Demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) Rodilansah Roland Gunawan, Minggu, 4 April. Dia mengatakan itu dalam acara “Weekend (We Can) Talk berjudul “Bom di Makassar dan Penembakan di Mabes Polri: Perspektif Toleransi dan Demokrasi”, pada Minggu, 4 April 2021.

“Harus diakui bahwa terorisme dapat muncul dari perkembangan tafsir keagamaan yang ekstrem. Ini sejak dahulu sudah ada, yakni melalui paham-paham ekstremis yang disebarkan ke penganut agama. Parahnya, sekarang sudah melibatkan perempuan sebagai pelaku," kata Roland.

"Negara memiliki wewenang untuk membatasi aksi dan ekspresi intoleran yang menyulut kekerasan, permusuhan, dan diskriminasi atas nama agama. Namun upaya itu jangan sampai mencederai demokrasi,” tambahnya. 

Acara yang dibuka oleh bekas Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifudin, menghadirkan pembicara antara kordinator Forum Risalah Jakarta Alissa Wahid, agawaman Franz Magnis Suseno, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen. Pol. Rusdi Hartono, komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah.

Roland menambahkan, negara berwenang untuk mencegah ujaran kebencian yang secara nyata dapat memicu aksi-aksi teror seperti di Makassar. Namun Pemerintah harus tetap menghormati kaidah-kaidah hukum dan hak asasi manusia dalam melakukan penindakan terhadap mereka yang dicurigai berhubungan dengan jaringan radikal.

Di dalam kesempataan yang sama, Direktur Demokrasi Multimedia Public Virtue Research Institute (PVRI) Ahmad Rozali mengatakan, peristiwa terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, kerap bermula dari bagaimana pelaku mengkonsumsi bahan-bahan di internet dan media sosial yang mengandung ajaran kekerasan. 

“Kami mengimbau masyarakat khususnya generasi muda untuk bisa memilih dan memilah konten yang benar dari yang menyesatkan," katanya.

:Kami juga mengingatkan kepolisian agar berhati-hati dalam melaksanakan fungsi-fungsi polisional melalui Polisi Virtual. Jangan sampai kebebasan berpendapat dan berekspresi kita justru terus menurun karena langkah-langkah pemolisian di dunia internet. Bagaimanapun, kebebasan berpendapat di ranah online juga merupakan ciri kehidupan masyarakat yang demokratis,” Rozali menambahkan.

Masih di tempat yang sama, Magnis-Suseno mengimbau agar agamawan memberi contoh baik pada umatnya dalam menerapkan ajaran agama, misalnya dengan cara yang rendah hati dan tidak menggunakan kalimat provokatif. 

“Masalah terorisme ini adalah pelaku bertindak mengatasnamakan apa? Agamawan juga harus mampu untuk mengajarkan kerendahan hati dan menjauhkan paham diri dari kesombongan. Maka beragama harus rendah hati karena agama tidak boleh menakutkan. Mereka harus dibantu diberikan pemahaman dan pengertian akan Tuhan dan agama yang benar (rehabilitasi).” 

Selanjutnya, Alissa Wahid menambahkan, sejumlah kasus terorisme terjadi akibat kesalahan persepsi atas ketidakadilan. Sebab menurutnya beberapa orang yang tertarik pada ide terorisme datang dari kelas menengah yang secara ekonomi berkecukupan. 

Ia mengatakan, aksi terorisme sangat mungkin lahir atas nama agama, karena agama punya karakter komunal dan mengatasnamakan Tuhan sehingga mampu melakukan berbagai hal yang melebihi nilai kemanusiaannya. Ia menegaskan bahwa terorisme yang mengatasnamakan agama apapun tidak dibenarkan.

Sedangkan Brigjen Rusdi Hartono menyayangkan adanya misinformasi di media sosial yang disalahpahami masyarakat, termasuk masih adanya masyarakat yang menganggap itu hanya rekayasa di tengah kelompok terorisme saat ini sudah menyasar anak-anak muda terutama kelahiran 1990an.

Lalu, limatul Qibtiyah menjelaskan bahwa perempuan adalah bagian dari kelompok bersenjata, sebagaimana terlihat dalam konteks ISIS. Keadaan ini bisa disebabkan karena beberapa faktor.

Pertama, menurunnya jumlah kombatan laki-laki. Kedua, strategi perang yang memanfaatkan stereotip gender bahwa perempuan tidak melakukan kekerasan.

Ketiga, memenuhi kebutuhan psikologis karena stress (untuk para migran. Keempat, tantangan maskulinitas seseorang. Hal-hal ini juga tidak lepas dari pengaruh-pengaruh seperti tren dakwah yang kurang mengajarkan berfikir kritis sehingga terjadi polarisasi identitas dan aksi-aksi ekstremisme.