Bagikan:

JAKARTA - DPR RI memberi banyak catatan terkait layanan dan sistem pendidikan di Indonesia yang menyisakan banyak masalah sebagai rapor merah di akhir masa jabatan Mendikbud Nadiem Makarim. DPR memang wajib karena memiliki fungsi pengawasan.

"Dengan banyaknya catatan yang diberikan anggota DPR terkait layanan pendidikan nasional Indonesia, hal ini menunjukkan ada rapor merah bagi Mendikbud. Tentunya ini menjadi tantangan sistem pendidikan kita,” kata Dosen Fisip Universitas Andalas (Unand) Ilham Aldelano Azre, Rabu (9/10/2024).

Berbagai persoalan yang disoroti DPR adalah terkait ketimpangan kualitas pendidikan, kesejahteraan guru, kekurangan tenaga pendidik dan masalah guru honorer, proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang setiap tahunnya menimbulkan persoalan, hingga fasilitas atau sarana prasarana pendidikan yang minim di daerah, serta kekerasan dan bullying yang marak di sekolah.

Belum lagi anggaran pendidikan tahun 2023 yang tidak terserap di tengah masih kurangnya sarana prasarana pendidikan di daerah dan masalah proses sertifikasi guru yang berbelit sehingga menambah faktor ketimpangan kualitas pendidikan di Tanah Air. Azre mengatakan kritik-kritik yang disampaikan DPR seharusnya mendapat perhatian dari pihak Pemerintah.

“DPR sudah memainkan fungsi pengawasannya dengan baik. Termasuk bagaimana DPR juga memberikan dukungan lewat penganggaran dan fungsi legislasi. Tentunya ini harus diapresiasi,” jelasnya.

“Tapi kalau ternyata masih juga ditemukan banyak masalah di sistem pendidikan kita, artinya memang Pemerintah sebagai pelaksana program masih kurang cakap karena kurang memberi atensi untuk segera menghadirkan solusi,” imbuh Azre.

Belum lama ini, kritik anggota DPR yang baru saja dilantik yaitu Dr. Gamal Albinsaid, M.Biomed terkait pendidikan Indonesia menuai banyak respons publik. Gamal sendiri merupakan seorang dokter, inovator kesehatan, wirausahawan sosial, yang juga inspirator ternama.

Gamal menyebut pendidikan di Indonesia masuk dalam kategori kritis dengan menjelaskan beberapa indikatornya. Seperti terlihat dari rendahnya hasil capaian Indonesia dalam program PISA (Program for International Student Assessment). Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara dengan skor membaca, matematika, dan sains yang jauh di bawah target yang ditetapkan.

Tak hanya itu, dr. Gamal juga menyoroti krisis literasi dan numerasi di Indonesia, serta pengangguran lulusan SMK hingga tingkat kesejahteraan guru yang rendah. Laporan terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia, termasuk guru honorer, menerima penghasilan di bawah 2 juta rupiah. Hal ini berdampak negatif pada motivasi dan kualitas pengajaran.

Azre sepakat dengan dr. Gamal dan menilai masalah rendahnya kesejahteraan guru masih menjadi momok yang mengancam kualitas pendidikan Indonesia.

"Kenyataannya masih banyak masalah yang dihadapi para guru di Indonesia, mulai dari gaji yang jauh dari layak hingga proses sertifikasi yang rumit dan lambat," tuturnya.

Azre kemudian menyinggung salah satu contoh ketimpangan kesejahteraan guru yang sempat disampaikan oleh Anggota Komisi X DPR RI, Andreas Hugo. Andreas sempat menyoroti gaji guru di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, yang hanya Rp 250 ribu.

Masalah kesejahteraan guru di daerah terpencil sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, yang masih juga banyak ditemui. Mereka sering kali menghadapi tantangan berat, seperti berjalan kaki berjam-jam melewati medan terjal hanya untuk mengajar dengan fasilitas yang sangat minim.

"Ironisnya, guru-guru di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena tantangan pendidikan yang mereka hadapi, justru sering kali diabaikan dalam hal fasilitas dan kesejahteraan. Gaji yang diterima bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka," jelas Azre.

"Hal ini tentunya berdampak pada kualitas proses belajar-mengajar di wilayah-wilayah tersebut," sambung Dosen Administrasi Publik tersebut.

Azre mengatakan pandangan DPR yang menilai bahwa guru sebagai ujung tombak pendidikan seharusnya direspons dengan adanya perbaikan. Ia menyebut kesejahteraan profesi guru memang harus diperhatikan mengingat tugasnya untuk membantu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat UUD 1945.

"Selain masalah kesejahteraan, sertifikasi guru menjadi isu lain yang memperumit keadaan. Sertifikasi guru, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas, justru tersandung masalah birokrasi yang berbelit-belit," ungkap Azre.

"Untuk mendapatkan sertifikasi, guru diwajibkan lulus pretest Pendidikan Profesi Guru (PPG), namun proses ini kerap kali terhambat oleh sistem dan birokrasi yang tidak efisien," tambahnya.

Menurut Azre situasi ini sangat ironis mengingat regulasi yang sudah diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin kuota dan daya tampung untuk pendidikan profesi guru.

"Hal ini memperlihatkan proses sertifikasi guru jauh lebih rumit dibandingkan sertifikasi dosen, sehingga banyak guru yang merasa frustrasi," ucap Azre.

Direktur Lembaga Survei Spektrum Politika Indonesia itu pun menyoroti pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal soal Indonesia yang masih darurat guru. Azre juga menggarisbawahi kritikan Cucun terkait anggaran Pemerintah yang seharusnya lebih bisa digunakan untuk memperbaiki sektor pendidikan dibanding untuk hal yang belum prioritas.

"Distribusi guru yang tidak merata antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta lambatnya proses sertifikasi, menambah daftar panjang masalah yang perlu diselesaikan," tukasnya.

Banyaknya masalah di dunia pendidikan dinilai harus dapat diperbaiki sesegera mungkin. Termasuk dalam hal kurikulum yang dianggap banyak kalangan belum cocok diterapkan di Indonesia karena fasilitas penunjangnya belum mumpumi.

“Dengan rapor merah yang diterima, Kemendikbudristek dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia,” sebut Azre.

“Reformasi menyeluruh dan langkah konkret diperlukan agar cita-cita pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah Indonesia dapat tercapai,” imbuhnya.