JAKARTA - Kementerian Agama mengajak pemuka agama hingga pemimpin adat untuk lebih proaktif dalam mencegah perkawinan anak yang angkanya melonjak dari tahun ke tahun.
"Peranan para ulama, pemimpin umat, pemuka adat, dan penyuluh agama sangat diperlukan untuk membangun kesadaran kolektif terkait masalah perkawinan anak," ujar Sekretaris Ditjen Bimas Islam M. Fuad Nasar dalam keterangan tertulis dilansir Antara, Kamis, 1 April.
Fuad mengatakan berdasarkan data Komnas Perempuan, angka perkawinan anak yang melonjak hampir tiga kali lipat pada 2020. Angka perkawinan anak sepanjang 2020 tercatat mencapai angka 64.211, dibandingkan pada 2019 yang hanya 23.126.
Meningkatnya angka perkawinan anak itu menyangkut sejumlah aspek seperti sosial, budaya, norma pergaulan dan persepsi sosial. Akar persoalan itu harus ditanggulangi.
Apalagi perkawinan anak justru lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat yang ujung-ujungnya kerap terjadi kekerasan hingga angka perceraian dini yang tinggi.
"Dalam pandangan Islam, sangat jelas bahwa perkawinan di bawah umur itu lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat, maka prinsipnya menghindari mudarat harus didahulukan daripada mengejar manfaat," katanya.
BACA JUGA:
Menurutnya, perkawinan membutuhkan kematangan fisik dan mental, kesiapan material dan spiritual, sehingga terbentuk keluarga dan rumah tangga yang sakinah, bahagia, dan sejahtera.
"Perkawinan bukan sebatas urusan privat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melaksanakan akad nikah. Namun, menyangkut urusan kekeluargaan serta masa depan kemanusiaan," kata dia.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan akar masalah perkawinan anak, terutama anak perempuan, adalah konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dibandingkan laki-laki.
"Perempuan dianggap sebagai empunya domestik, sehingga dihalang-halangi untuk masuk ke sektor publik. Ketika bisa masuk ke sektor publik pun selalu diingatkan dengan tugasnya di rumah," kata Andy.
Konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi domestik pada akhirnya menyebabkan sebagian orang tua menganggap anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi dan lebih baik segera dikawinkan.
Kalau pun perempuan bisa meraih pendidikan tinggi pun, Andy memandang terdapat ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan akses terhadap pendidikan.