JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia semakin meluas. Dalam kurun waktu satu bulan setelah pengumuman ditemukannya kasus positif Indonesia, jumlah kasus terus meningkat.
Pemerintah dinilai sudah harus menerapkan karantina wilayah atau lockdown terbatas. Dampak positifnya tidak hanya pada kesehatan warga negara tetapi juga perekonomian nasional.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, dengan diterapkannya lockdown oleh pemerintah sebagai upaya menghadapi COVID-19, maka pemulihan ekonomi Indonesia juga bisa cepat terjadi.
Faisal berujar, memang tidak terbayangkan dampak pada pertumbuhan ekonomi jika dilakukan lockdown karena kegiatan jadi terhenti, sehingga memberi dampak kejut pada pasokan dan permintaan.
"Tapi percayalah, lockdown itu kalau secepat mungkin dilakukan, penyebarannya akan jadi sangat terbatas dan mau tidak mau kita hadapi kemerosotan ekonomi. Bahkan pahitnya, resesi. Tapi percayalah nanti rebound cepat," tuturnya, dalam siaran langsung bersama INDEF melalui video conference, di Jakarta, Jumat, 27 Maret.
Menurut Faisal, lockdown adalah pilihan terbaik yang dapat diambil saat ini. Pemerintah, kata Faisal, perlu mencontoh India yang dengan cepat memutuskan untuk lockdown meskipun jumlah kasus COVID-19 jauh di bawah negara lain.
"India yang kasusnya lebih kecil dari kita itu melakukan lockdown lebih awal. Karena mereka sadar ongkos dari terlambatnya penanganan itu akan jauh lebih besar. Bukan hanya ongkos uang, tapi juga nyawa manusia. Nah, dilihat dari perspektif itu kelihatnya pemerintah terlalu bias untuk menjaga ekonomi," tuturnya.
BACA JUGA:
Faisal mengatakan, jika pemerintah terus menunda melakukan lockdown, bukan tidak mungkin penyebaran COVID-19 akan semakin luas dan mengancam Indonesia untuk jangka yang lebih panjang.
"Pola seperti sekarang, kelamaan dalam ketidakpastian. Nanti negara lain sudah rebound, kita rebound-nya lebih lama. Lebih baik kita pahit dalam jangka pendek, tapi ceria hadapi jangka menengah dan panjang. Ketimbang gini-gini saja," jelasnya.
Lockdown Dimulai dari Jakarta dan Pulau Jawa
Faisal mengatakan, jika melihat data sejak bulan Januari hingga Februari sebelum kasus positif COVID-19 ditemukan di Indonesia, setidaknya ada 183 ribu turis dari China masuk.
Seharusnya, ini menjadi peringatan dini bagi pemerintah. Apalagi, penerapan lockdown juga dinilai sudah terlambat karena penyebarannya semakin luas. Namun, tak ada pilihan lain.
Menurut Faisal, perbedaan budaya antara masyarakat Indonesia dengan negara lain tidak dapat dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah untuk tidak menerapan lockdown. Sebab, setiap negara memiliki pendekatan berdasarkan situasi yang dihadapi masing-masing negara.
"Kondisi kita kalau kita preteli satu-satu, membuat kita tidak punya pilihan selain lockdown," tuturnya.
Faisal tak menyalahkan, keputusan pemerintah untuk melakukan rapid test massal, namun akan jauh lebih efektif jika dilakukan lockdown. Karena, Indonesia tidak seperti Korea Selatan yang dapat melakukan rapid test 15 ribu per hari.
Menurut Faisal, negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadi keuntungan sendiri jika pemerintah memutuskan untuk melakukan lockdown terbatas. Apalagi, saat ini tak hanya Jakarta, tapi kota lain di Pulau Jawa juga sudah melaporkan kasus positif COVID-19.
"Indonesia lebih mudah melakukan lockdown terbatas karena kita kepulauan bukan kontinental. Jaga saja Jakarta dan utamanya kalau sudah menjalar ke kota Jawa, maka Jaga dulu (Pulau) Jawa. Supaya tidak merembet ke provinsi-provinsi lain," ucapnya.
Jika pemerintah tidak melakukan lockdown dan terus menunda, kata Faisal, bukan tidak mungkin 34 provinsi di Indonesia dapat tertular COVID-19. Apalagi, mobilitas masyarakat masih tinggi, meskipun sudah ada imbauan social distancing.
"Tapi data kemarin sudah 27 provinsi itu nambah 3 provinsi dalam 24 jam. Karena tidak dilakukan proses monitoring yang memadai terhadap mobilitas manusia dari Jakarta ke daerah lain atau dari daerah lain ke Jakarta, semakin sulit. Saya rasa minggu ini sudah 34 provinsi lengkap terkena virus yang sumbernya dari Jakarta," jelasnya.
Faisal mengatakan, COVID-19 ini ibarat perang dunia karena sudah 198 negara terinfeksi virus ini. Namun, sayangnya perang ini bukan perang fisik yang dapat dipresiksi medan tempurnya, termasuk berapa jumlah pasukan musuh.
"Perang ini tidak seperti perang fisik, tetapi perang menghadapi hantu. Perang menghadapi hantu kita tidak tahu medan tempur. Jangan-jangan sudah ada di depan rumah kita, sudah ada di jantung pertahanan kita. Tidak ada kata lain tatkala kita tidak mengetahui, maka satu-satunya cara adalah melakukan pembatasan atau lockdown," ucapnya.