Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan empat tersangka dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) bakal dipanggil. Tapi, belum dirinci kapan waktunya.

"Pasti dipanggil (para tersangka dalam kasus ini, red)," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika yang dikutip pada Senin, 19 Agustus.

Hanya saja, Tessa bilang pemanggilan ini bakal lebih dulu dilakukan setelah pengumpulan barang bukti. "Biasanya penyidik akan cenderung mengumpulkan, memperkuat alat bukti yang utama, yang primer lebih dulu mulai dari keterangan saksi, mengumpulkan bukti suara, barang bukti elektronik," jelasnya.

"Karena keterangan tersangka itu level pembuktiannya yang dibutuhkan paling rendah maka kami memperkuat dari sisi yang lainnya. Tapi pasti dipanggil," sambung juru bicara berlatar belakang penyidik tersebut.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022. Inisialnya adalah IP, MYH, HMAC, dan A.

Sementara berdasarkan informasi yang diperoleh VOI, tiga orang yang ditetapkan merupakan direksi dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Mereka adalah Ira Puspadewi yang merupakan direktur utama; Harry MAC selaku direktur perencanaan dan pengembangan; dan Yusuf Hadi yang merupakan direktur komersial dan pelayanan.

Untuk swasta berinsial A adalah Adjie. Dia merupakan pemilik PT Jembatan Nusantara sebelum diakuisisi.

Dalam kasus ini, KPK menduga telah terjadi kerugian negara yang disinyalir mencapai Rp1,27 triliun. Angka tersebut masih berubah karena penghitungannya terus dilakukan.

Kerugian ini muncul karena proses akuisisi PT Jembatan Nusantara tidak sesuai aturan, berdasarkan penuturan sumber VOI. Dilansir dari sejumlah pemberitaan, PT ASDP membeli PT Jembatan Nusantara pada Februari 2022 dengan nilai mencapai Rp1,3 triliun.

Perusahaan pelat merah ini kemudian menguasai saham PT Jembatan Nusantara 100 persen dengan 53 kapal yang dikelola. “Prosesnya (dalam melaksanakan kerja sama usaha dan akuisisi, red) enggak ada dasar hukumnya,” katanya.

“Jadi dilanggar semua aturan akuisisi,” masih dikutip dari sumber yang sama.