KUPANG - Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nusa Tenggara Timur (NTT), Yucundianus Lepa prihatin terhadap sikap PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang cenderung berkonfrontasi secara terbuka dengan PBNU.
Yucundianus menilai peran PBNU lewat Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa dipisahkan dari awal didirikannya PKB. Dia menegaskan, hubungan NU-PKB bersifat ideologis atau amar ma’ruf nahi mungkar bukan hanya sebatas historis.
"Sikap arogan, sikap angkuh dan menggurui, yang ditunjukkan segelintir petinggi PKB telah melahirkan keprihatinan yang meluas. Seperti itukah pemahaman para petinggi PKB terhadap hubungan kesejarahan dan ideologis dengan NU sebagai
entitas yang membidani kehadirannya?" kata mantan Ketua PKB NTT tersebut dalam pernyataan tertulis, Minggu 18 Agustus.
Menurut tokoh katolik NTT itu, kekuasaan yang dijalankan segelintir petinggi PKB saat ini bukan lagi sebuah wasilah atau sarana, tetapi telah menjadi ghayah alias tujuan. Padahal, kata dia, PKB dibidani kelahirannya oleh NU untuk mewujudkan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan lahir-batin serta puncak tujuan adalah mencari ridha Allah SWT
"Kekuasaan politik yang dipraktekkan PKB saat ini adalah kekuasaan memabukkan. Jabatan politik yang begitu lama digenggam hanya oleh satu atau segelintir orang, telah mengubah hakikat kekuasaan bukan lagi sebagai sarana untuk melayani tetapi menjadi sarana dalam mengejar harta semata," ujar Yucundianus.
Dia menjelaskan, NU dalam pemilu pertama tahun 1955 adalah partai politik peserta pemilu dengan dukungan mayoritas. Hal itu seiring dengan fenomena bergesernya Islam sebagai identitas semata pada kurun waktu tersebut. Dari situ, ikhtiar mencari wadah baru untuk arena berekspresi dengan nilai-nilai kebangsaan dan ke-Islaman lebih hakiki diinisiasi NU.
"Apakah pergulatan panjang dan penuh pengorbanan dari kaum Nahdliyin hingga terbentuknya PKB sebagai partai politik untuk menjadi wadah ekspresi pikiran dan tindakan kaum Nahdliyin cukup dimaknai sebagai hubungan historis? Terlalu sederhana dan dangkal. Kalau NU dan PKB adalah dua entitas yang otonom: Yes. Tetapi PKB sebagai sebuah partai politik selayaknya menghadirkan sosok kepartaian dan memerankan diri sebagai miniature NU di panggung politik nasional," tutur Yucundianus.
BACA JUGA:
Yucundianus mengatakan, NU adalah entitas yang sudah dan akan terus merajut nilai-nilai keagamaan (ketuhanan). PKB sebagai kendaraan politik kaum Nahdliyin, kata dia, digariskan oleh NU untuk mempedomani Mabda’ Siyasi sebagai aturan tertinggi.
"Itulah sebabnya, Hal ini didasari keyakinan kuat bahwa PKB nantinya tidak rapuh terbuai pragmatisme yang memabukkan. PKB sebagai representase NU konsisten berpegang pada keyakinan atas Islam Aswaja an-Nahdliyyah serta nalar kritis yang dikembangkan secara konstekstual," ujarnya.
Yucundianus menuturkan, sebagai seorang pemeluk iman Kristiani, politik sebuah bentuk kerasulan. Menurutnya, prisnsip yang dijalankan itu sama seperti NU yang menjadikan politik serta kekuasaan hanya untuksarana menciptakan kemaslahatan bersama.
"Kami memilih bergabung dengan PKB karena universalitas, kesemestaan nilai yang dirawat oleh NU kami percaya ada juga pada PKB," katanya.
Yucundianus lantas menyoroti pelaporan kasus dugaan pencemaran nama baik oleh pengurus PKB sejumlah daerah di era kepemimpinan Cak Imin terhadap mantan Sekretaris Jenderal DPP PKB Lukman Edy.
Menurutnya, PKB sebagai partai politik terbuka terhadap masukan. Sikap anti-kritik dan arogan demikian, kata dia, harus ditertibkan agar PKB tidak digiring lebih jauh dan menihilkan peran NU dalam sejarah kehidupan PKB.
"Laporan terhadap saudara Lukman Edy karena kritik yang dilontarkan atas kepemimpinan Saudara Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB adalah sebuah tindakan ahistoris, tidak terpuji, arogan, dan menutup diri. Setiap penyimpangan, kelemahan, ketidakjujuran, yang merupakan nilai-nilai minus dalam kepemimpinan publik, harus dikritik secara terbuka, agar ada perbaikan," kata Yucundianus.
Yucundianus memandang keprihatinan PKB NTT atas kepemimpinan PKB saat ini telah menjadi beban sejarah. Penyakit kekuasaan yang menggerogoti para elite PKB saat ini, kata dia, hanya NU yang bisa menyelesaikan.
"Jabatan politik dalam tubuh PKB saat ini sangat sentralistik. Praktek kekuasaan demikian telah melahirkan "mentalitas tuan-hamba". Para pemimpin bermental feodal dan pengikut bermental budak dan bukan kader pemimpin yang kritis dan dapat menahkodai sejarah bangsa. Masalah pengelolaan keuangan yang tidak transparan, terkooptasinya fungsi organisasi di satu tangan, dan kebobrokan lainnya, tidak terungkap ke permukaan. Para pengikut hidup dalam tekanan, hilang kemerdekaan untuk berkata jujur dan pasrah menerima keadaan. Adalah menjadi tanggung jawab NU dan tokoh-tokoh bangsa yang kritis untuk menyudahi fenomena kepemimpinan ini agar tidak menjadi sampah sejarah," tandasnya.