JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut keputusan bisnis yang diwarnai praktik lancung dan kongkalikong tak bisa dibenarkan. Apalagi, dampaknya bisa menimbulkan keuangan negara.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang tak sepakat kegagalan bisnis disamakan sebagai praktik korupsi.
Ketika itu, Luhut menyinggung ada mantan bos PT Pertamina (Persero) yang harus berurusan dengan hukum karena masalah ini.
“Dulu ada penanganan perkara oleh Kejaksaan Agung terhadap mantan Direktur Pertamina ya, Ibu Karen. Itu ada kemudian produk keputusan Mahkamah Agung yang terakhir, ketika perkara itu dibawa oleh Kejaksaan Agung, itu dinyatakan sebagai apa yang dimaksud oleh Pak Luhut. Tetapi tidak semua juga seperti itu harus diartikan seperti itu,” kata Nawawi kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Sabtu, 17 Agustus.
Nawawi bilang kasus Karen semestinya dipandang dengan kerangka hukum. “Kita betul-betul harus (paham, red) seperti apa yang real bisnis, seperti dimaksudkan oleh Pak Luhut itu. Tidak semua perkara seperti itu,” tegasnya.
Apalagi sambung Nawawi, banyak kasus yang ditangani KPK terutama yang menyeret bos perusahaan BUMN memang terbukti terjadi perbuatan yang menimbulkan kerugian negara.
“Dan itu dilakukan secara sengaja,” ungkap Nawawi.
“Misalnya kita menyebut itu sebagai konsekuensi daripada ikut berbisnis satu badan usaha, itu sangat berbahaya juga,” sambungnya.
Adapun pernyataan Nawawi ini didukung dengan berbagai bukti yang dikantongi dari proses penyidikan. Di antaranya, Karen pada saat kontrak pembelian liquified natural gas (LNG) impor pada 2014 memberikan persetujuan dan kuasa kepada Direktur Gas untuk menandatangani kontrak tanpa persetujuan direksi lain dan komisaris serta tak melaksanakan rapat umum pemegang saham (RUPS)
Lalu, Karen juga meminta jabatan Direksi Holding Corpus Christi Liquefaction karena PT Pertamina (Persero) telah melakukan pembelian LNG Import dari perusahaan asing itu. Hanya saja, bekas bos perusahaan pelat merah itu akhirnya diberikan Jabatan sebagai Senior Adviser pada anak perusahaan tersebut.
Terakhir, komisi antirasuah juga mengantongi bukti adanya pemalsuan dokumen persetujuan direksi tentang Pembelian LNG impor dari Corpus Christi Liquefaction pada 3 Desember 2013. Dari hanya ditandatangani tujuh direksi kemudian dipalsukan menjadi sembilan.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Tessa Mahardika mengatakan vonis terhadap Karen dalam dugaan korupsi pengadaan LNG bukan domain lembaganya. Hakim juga tak mungkin begitu saja menjatuhkan hukuman dan semua bukti sudah diajukan.
“Tugas KPK dari sisi penindakan sudah selesai karena hakim yakin atas semua alat bukti yang diajukan di persidangan. Tugas KPK selesai putusan tersebut adalah memperkuat pencegahan bagaimana tindakan yang serupa tdk terulang lagi baik di kementerian maupun lembaga lain seperti yang terjadi di Pertamina,” ungkap juru bicara berlatar belakang penyidik itu.
KPK juga tak khawatir mengembangkan kasus yang menjerat Karen. "Kita berdiri di atas kerangka hukum saja, ada alat buktinya atau tidak dan kita perkuat dari sisi itu saja," tegas Tessa.
BACA JUGA:
Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mendorong BUMN melakukan ekspansi ke luar negeri untuk menjaga ketahanan energi nasional. Bahkan, payung hukum sedang disiapkan.
"Ini juga yang akan kita lakukan, yang sedang berlangsung sekarang, untuk memiliki payung hukum, bagi entitas pemerintah ketika mereka berekspansi ke luar negeri, anda tahu, seperti halnya dengan PT. Pertamina dan perusahaan lainnya," kata Menko Luhut dalam Supply Chain and National Capacity Summit 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu, 14 Agustus.
Luhut menyadari ada risiko yang terjadi pada konteks ekspansi bisnis ini, yakni munculnya kerugian. Tapi, dia tak setuju jika hal ini diartikan sebagai bentuk korupsi.
Sebagai contoh, Luhut menyinggung kasus hukum yang menjerat mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan dalam kasus pengadaan gas alam cair (LNG) dari kilang di Amerika Serikat pada 2011-2014. “Saya juga melihat beberapa masalah, mantan CEO perusahaan itu (Pertamina) dipenjara dua kali,” ujarnya saat itu.
“Sejujurnya, saya tidak setuju dengan itu. Karena dalam bisnis, terkadang anda bisa turun, terkadang anda bisa naik. Bagaimana Anda bisa mempertahankan laba? Bahkan pernikahan pun memiliki risiko," ungkap Luhut.
Kondisi ini, sambung Luhut, juga sudah disampaikan dalam rapat kabinet. "Jadi, sesuatu seperti ini, anda tidak bisa menyalahkan (risiko bisnis sebagai, red) korupsi. Saya tidak setuju dengan itu. Kita harus mengaudit sesuatu seperti ini. Saya mengusulkan ini juga selama rapat kabinet. Saya katakan itu tidak adil, tidak adil," pungkasnya.