Bagikan:

JAKARTA - Pengadilan Niaga pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar Rapat Kreditur Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dialami oleh warga negara asing (WNA) Singapura sebagai ahli waris PT Krama Yudha, Rozita dan Ery.

Kuasa hukum ahli waris PT Krama Yudha, Damian Renjaan mengatakan rapat yang digelar untuk mencocokan utang-piutang terkesan dipaksakan. Sebab, rapat itu seharusnya ditunda karena kliennya sakit.

Hanya saja, tetap digelar dengan hasil pemyerahan surat pernyataan yang berisi tentang tanggapan atas tagihan Rp1,2 triliun yang diajukan penggugat.

Tetapi, pihaknya menolak adanya nilai utang iru karena Akta 78 yang menjadi dasar tagihan adalah pemberian bonus dari Alm. Sjarnoebi Said untuk kesejahteraan tiga saudaranya dan satu temannya yang semuanya telah meninggal dunia sehingga kliennya hanya bersedia memberikan kebijaksanaan sekitar 21 miliar.

"Surat pernyataan yang berisi tanggapan terhadap tagihan yang diajukan sebesar RP 1,2 triliun. Beliau hanya mau memberikan sekitar 21 Miliar sekian," ujar Damian, Jumat, 16 Agustus.

Jumlah Rp21 miliar itu diberikan atas dasar kebijaksanaan yang diberikan oleh kliennya karena pada faktanya tidak ada utang. Surat pernyataan yang telah ditandatangani oleh Ery dan Rozita selaku ahli waris PT Krama Yudha tersebut telah diserahkan kepada forum dalam rapat kreditur.

"Intinya adalah Ibu Rozita dan Pak Ery membantah tagihan sebesar 1,2 triliun. Kemudian atas dasar kebijaksanaan, beliau hanya mau memberikan sebesar Rp21 miliar sekian tadi. Itu Pointnya," jelasnya.

Damian mengatakan akibat putusan pailit ini, kliennya akhirnya jatuh sakit karena beban mental yang dialami sehingga berharap proses ini berjalan sesuai hukum yang berlaku.

“Mungkin harapan kita kedepannya supaya proses ini berjalan dengan baik. Kasihan, ibu dan anak ini benar-benar sangat merasa terdzolimi sekali. Beban mental terhadap tagihan yang sebesar ini sangat benar-benar menguras mental beliau hingga jatuh sakit," jelasnya.

Dalam kasus ini Rozita dan Ery merupakan orang yang tidak tahu menahu tentang kesepakatan di hadapan notaris SP Henny Singgih pada 20 April 1998, yang menghasilkan akta notaris dengan nomor 78 (akta 78).

Kedua kliennya tidak mengetahui perihal akta 78 karena hanya berstatus ahli waris.

"Akta itu ditandatangani oleh Kakek dari Pak Ery (Debitur 2) atau Mertua dari Bu Rosita (Debitur 1). Sehingga mereka sama sekali tidak tahu perjanjian ini (akta 78)." jelasnya.

Kemudian atas status pailit tersebut kedua kliennya mengajukan kasasi karena keduanya merasa tidak menandatangani perjanjian tersebut. Selain itu, tidak ada rapat umum pemegang saham (RUPS) yang berisi tentang pemberian laba bersih dari PT Krama Yudha pada perseroan.

"Akta 78 kan tertulis bahwa pemberian bonus tersebut diberikan sepanjang Almarhum Pak Sjarnobi masih menjadi pemegang saham mayoritas. Sedangkan beliau sudah meninggal dari tahun 2001. Seharusnya perjanjian sudah berakhir," jelasnya.

Rapat yang juga dihadiri oleh Presiden Direktur PT Krama Yudha yang baru Terpilih 6 Agustus 2024, Ferdinandus. Melalui proses RUPS, Ferdinandus ditunjuk untuk menjalankan tanggung Jawab operasional Perusahaan. Namun, langkah itu dijegal kurator secara melawan hukum seolah yang pailit yakni PT Krama Yudha.

"Jadi pada proses rapat hari ini berkaitan dengan putusan pailit nomor 266 itu berkaitan dengan harta ahli waris atau Ibu Rozita dan Pak Ery. Itu kan seharusnya tidak ada kaitannya dengan operasional perusahaan karena ini suatu hal yang berbeda. Suatu hal berbeda," kata Kuasa Hukum Ferdi Nandus, Rahdityanto Regowo.

Dia menilai, apabila aset perusahaan disita hal itu akan menyebabkan operasional perusahaan. Padahal seharusnya perusahaan harus tetap berjalan karena bukan PT Krama Yudha yang pailit.

Atas putusan PKPU yang memutus pailit para debitur asing itu, banyak masyarakat yang kemudian terpanggil untuk melakukan analisa jalannya perkara tersebut salah satunya Pemerhati Hukum Christian Delvis Rettob.

Hal itu dilakukan agar hukum di Indonesia dapat tegak lurus dan tak dapat dibelokkan oleh siapa pun.

"Kami terpanggil pasca putusan PKPU Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 226. Di mana menariknya warga negara asing yang diadili di Indonesia," jelasnya.

Dia menilai, pihak debitur yang merupakan WN asing seharusnya tidak dapat dijadikan subjek penegakan hukum. Dia menilai, dengan putusan tersebut akhirnya akan membuat Indonesia dijauhi oleh para investor asing.

"Secara kasuistik ketika dianalisa ternyata pihak debitur bu Rozita dan pak Ery seharusnya tidak bisa dimintain pertanggungjawaban secara hukum karena mereka bukan merupakan subjek yang bertanggungjawab atas perjanjian," ucapnya.

"Ketika SK Mahkamah Agung itu yang mengalami pergeseran nilai keadilan dan kepastian hukum. Ini proses sedang berjalan dan kami mengawal proses ini hingga tetap mencapai proses hukum berjalan semestinya," sambung Ferdi.