JAKARTA - Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing menuding beberapa negara menginginkan konflik di Myanmar terus berlanjut, dengan mempersenjatai serta memasok pangan dan uang bagi kelompok-kelompok perlawanan bersenjata.
"Beberapa negara asing menginginkan adanya konflik bersenjata dan ikut campur di Myanmar, dengan menyediakan uang, makanan, obat-obatan, senjata dan amunisi, teknologi, dan logistik kepada pemberontak bersenjata dan kelompok teroris dari berbagai kalangan politik, membantu media jahat untuk melancarkan perang psikologis," kata Min Aung Hlaing seperti dikutip oleh harian Global New Light of Myanmar dilansir ANTARA dari Sputnik-OANA, Selasa, 6 Agustus.
Ia juga mengatakan sejumlah kelompok etnis telah mendirikan fasilitas produksi senjata, amunisi, dan bahan peledak di beberapa wilayah perbatasan Myanmar-China.
"Mayoritas senjata dan amunisi yang disita oleh pasukan keamanan adalah produk dari pabrik-pabrik ini. Membangun pabrik-pabrik ini bukanlah situasi yang biasa. Perlu mengeluarkan kekuatan moneter dan teknologi. Jadi, perlu untuk menganalisis sumber-sumber kekuatan moneter dan teknologi," kata dia
Pada Minggu (4/8), Ketua Partai USDP Myanmar, Khin Yi, dalam sebuah wawancara dengan Sputnik, meminta Rusia untuk mengakui konflik bersenjata di negara itu sebagai manifestasi terorisme dan bergabung dalam perang melawannya.
BACA JUGA:
Konflik bersenjata antara pemerintah pusat Myanmar dan sejumlah kelompok bersenjata minoritas nasional kembali memanas pada 2021, setelah militer menuduh perwakilan pemerintah melakukan kecurangan dalam pemilihan umum November 2020.
Junta kemudian menggunakan mekanisme konstitusional untuk pengalihan kekuasaan kepada panglima angkatan bersenjata jika terjadi keadaan darurat yang mengancam keamanan nasional dan integritas negara.
Pada 31 Juli lalu, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Myanmar memutuskan untuk memperpanjang keadaan darurat, yang pertama kali diumumkan pada 2021, selama enam bulan ke depan.