KPK: Jepang, Eropa dan Sejumlah Negara Lain Sudah Keluarkan Limbah Batu Bara dari Kategori B3
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar menyebut masuknya limbah batubara atau Fly Ash Bottom Ash (FABA) sebagai limbah kategori bahan berbahaya dan beracun (B3), tidak sesuai kategori. Bahkan, dia menyebut, banyak negara maju tidak memasukkan FABA ke dalam kategori limbah B3.

“Hasil studi literatur didapatkan bahwa pengategorian FABA sebagai limbah B3 ini tidak sesuai dengan praktik di berbagai negara internasional seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, China, Eropa, di mana FABA dikategorikan sebagai limbah non-B3,” kata Lili dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Senin, 22 Maret.

Dia mengatakan, ini adalah salah satu bentuk kelemahan jika FABA ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Padahal selama ini, PLN mengeluarkan anggaran besar untuk pengolahan FABA. 

Hal ini terjadi karena sumber energi utama sebagian besar PLTU yang dimiliki PLN berasal dari batu bara yang menghasilkan FABA. Akibatnya, PLN harus meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) yakni Rp 74 per KWH di 2019. 

Hal ini yang kemudian dianggap berpotensi menimbulkan praktik korupsi dalam pengelolaannya, jika FABA masuk sebagai limbah B3.

Menambahkan Lili, Direktur Monitoring KPK Agung Yudha Wibowo mengatakan menyinggung selama ini anggaran fantastis sudah dikeluarkan untuk mengelola FABA. Hanya saja, FABA sebenarnya justru bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk dimanfaatkan oleh industri.

“FABA bisa dimanfaatkan secara benar, secara optimal, dan memenuhi standar internasional akan kemudian mendorong perekonomian internasional karena jumlah faba yg dimiliki PLN cukup besar sekali,” ungkapnya.