JAKARTA - Tren kerja virtual (Remote Working) telah menjadi fenomena yang semakin populer beberapa tahun kebelakang. Tren ini dipercepat setelah wabah COVID-19 melanda yang membiasakan perusahaan untuk menerapkan model kerja jarak jauh.
Sebelum pandemi COVID-19, kerja virtual hanyalah sebuah fasilitas tambahan. Namun saat ini perusahaan-perusahaan mau tidak mau mengadopsi sejumlah teknologi yang memfasilitasi karyawannya untuk dapat bekerja secara jarak jauh. Sebut saja Zoom, Google Meet, Teams dan lain-lain.
Mode kerja virtual sebenarnya mendatangkan banyak manfaat termasuk fleksibilitas waktu, penghematan biaya operasional, dan peningkatan produktivitas. Namun di balik manfaat tersebut, model kerja ini juga tak lepas dari sejumlah tantangan mulai dari kesenjangan akses teknologi, masalah komunikasi dan kolaborasi hingga kesehatan mental.
Selain mampu mengaplikasikannya, para pekerja saat ini juga harus dituntut bijak menggunakan teknologi. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengembangan skil serta bijak dalam berkegiatan digital, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengadakan webinar Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) bertajuk "Tren Kerja Virtual (Remote Working)" yang diadakan pada Jumat, 26 Juli 2024.
Manfaat tren ini dapat dirasakan oleh dua pihak, baik karyawan maupun perusahaan. Di sisi karyawan, manfaat tren ini yaitu dapat kerja di mana saja. Mereka tidak harus pergi ke kantor, tidak perlu harus membuang banyak waktu untuk pulang pergi ke kantor, selain itu seorang karyawan juga dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga.
"Untuk working mom dia bisa bekerja sambil mengurus anak," ujar Noor Laily Alviani, Manager Glints Indonesia yang merupakan salah seorang pembicara dalam OOTD "Tren Kerja Virtual (Remote Working)".
Yang sangat terasa dalam tren kerja ini adalah, lanjut Noor, antara pekerjaan dan kehidupan dapat berjalan seimbang. Sedangkan manfaat dari sisi perusahaan diantaranya dapat menghemat biaya operasional. Pasalnya perusahaan saat ini bisa saja tidak perlu menyediakan kantor untuk mencakup semua orang.
Selain itu perusahaan juga dapat merekrut karyawan dari mana saja baik dari luar kota, maupun luar negeri.
"Perusahaan jadi dapat lebih banyak melirik potensi-potensi sumber daya manusia tanpa harus terhalang faktor geologis," jelas Noor.
BACA JUGA:
Namun, waktu yang fleksibel juga dapat berdampak buruk bagi pekerja yang terlena atas kenyamanan pola kerja jarak jauh. Para pekerja kerap lupa untuk membedakan waktu sebagai pekerja dan saat-saat menjalani hidup sebagai masyarakat biasa. Hal ini tentunya berpengaruh dengan kualitas kerja seseorang.
Ketika pekerjaan dilakukan dari rumah, seseorang bisa saja sulit untuk menjaga pemisahan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan, stres, dan penurunan produktivitas.
"Untuk dapat membedakan kita harus dapat membuat jadwal sendiri kapan kita harus bekerja, kapan kita menjadi masyarakat biasa," ujar Konten Kreator, Nur Eliana Rosyadah yang juga jadi pembicara dalam webinar yang diadakan Kominfo tersebut.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh WHO. Organisasi Kesehatan Dunia itu menyebut para pekerja jarak jauh atau dari rumah di seluruh dunia akan mengalami rasa lelah, secara fisik dan psikis. Menurutnya, model kerja dari rumah dapat menciptakan kondisi berbahaya, yakni berdampak buruk bagi kesehatan karyawan. Ini terjadi bila perusahaan dan karyawan tidak secara kolektif mengelola cara kerja jarak jauh.