JAKARTA - Ombudsman mengungkap sejumlah temuan terkait pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025. Di antaranya terdapat praktik cuci rapot atau mengganti nilai untuk meningkatkan gengsi sekolah hingga manipulasi data demi mengakali jalur zonasi.
"Kami temukan bahwa implementasi di lapangan ternyata masih banyak yang tidak sesuai dengan panduan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dan Keputusan Sejken Kemendikbud Nomor 47 Tahun 2023 dalam pelaksanaan PPDB ini," kata Anggota Ombudsman RIIndraza Marzuki Rais dalam keterangan yang dikutip dari situs resmi, Sabtu, 6 Juli.
Indraza kemudian memerinci lembaganya sudah mendapatkan aduan masyarakat terkait pelaksanaan PPDB. Rinciannya, terjadi dugaan administrasi sebanyak 51 persen; tidak memberikan layanan 13 persen; tidak kompeten 12 persen; diskriminasi 11 persen; penundaan berlarut 7 persen; permintaaan imbalan uang, barang dan jasa 2 persen; tidak patut 2 persen; dan penyalahgunaan wewenang 2 persen.
Sementara itu, berdasarkan seleksi jalur PPDB jumlah pengaduan pada jalur prestasi sebanyak 141 laporan, jalur zonasi 138 laporan, tidak ada keterangan 130 laporan, afirmasi 47 laporan dan Perpindahan Tugas Orang Tua (PTO) 11 laporan.
"Dalam jalur zonasi, adanya pemahaman keliru baik juklak dan juknis penentuan zona dimana selama ini masih banyak yang menggunakan jarak padahal dapat juga menggunakan area zona. Untuk afirmasi, seharusnya juga tidak hanya bagi anak yang kurang beruntung secara ekonomi tetapi juga berlaku kepada teman-teman disabilitas," ungkapnya.
Adapun salah satu laporan yang masuk di jalur prestasi, yaitu praktik cuci rapot atau mengganti nilai demi meningkatkan gengsi sekolah. Selain itu, tidak adanya transparansi dalam mengukur dan mengumumkan skor penilaian jalur prestasi.
"Sehingga muncul berbagai permasalahan seperti adanya sertifikat akademik palus hingga masuknya siswa titipan berdasarkan jalur prestasi yang berujung pada penambahan kelas atau rombongan belajar," ungkap Indraza.
BACA JUGA:
Sementara berdasarkan wilayah, temuan yang didapat Ombudsman cukup beragam. Salah satunya adalah manipulasi dokumen untuk menyiasati jalur zonasi dan hal ini terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Metode mencurangi zonasi ini, sambung Indraza, dengan menerbitkan akta perwalian melalui notaris yang diduga dilakukan oleh seorang petinggi sebuah perusahaan pengelola rumah sakit swasta.
Selain itu, ada juga temuan terkait jalur PPDB di luar prosedur yaitu 'PPDB Cerdas' yang menggunakan tes berbasis komputer dengan kuota 40 persen sedangkan 60 persen lainnya tetap menggunakan jalur reguler. Peristiwa ini disebut Indraza terjadi di Kota Magelang, Jawa Tengah.
"Temuan ini tentunya belum final dan Ombudsman masih akan melanjutkan pengawasan PPDB, dimana penyimpangan prosedur masih seringkali terjadi namun minim pengawasan khususnya pada pasca pelaksanaan PPDB," pungkasnya.