Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komis E DPRD DKI Jakarta Sholikhah meminta Pemprov DKI mempercepat penyusunan kajian mengenai implementasi sekolah gratis di Jakarta, terutama pada sekolah swasta.

Menurut Solikhah, sekolah gratis bisa menyelesaikan masalah-masalah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Mengingat, Ombudsman RI menemukan adanya dugaan maladministrasi pada pelaksanaan PPDB tahun ini di sejumlah daerah.

“Saatnya Pemerintah DKI hadir untuk menggratiskan siswa SD sampai SMA negri maupun swasta,” kata Sholikhah di Jakarta, Senin, 15 Juli.

Program sekolah gratis, lanjut Solikhah, diharapkan bisa memangkas kesenjangan antara masyarakat mampu dan masyarakat kurang mampu. Sehingga, kesetaraan pendidikan di Jakarta bisa terealisasi meskipun siswa dari keluarga tidak mampu tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri.

“Sekolah-sekolah yang dikualifikasikan menengah ke bawah, agar tidak terjadi polemik yang selalu ada saat PPDB dan agar tidak terjadi diskriminasi kaya dan miskin, maka harus digratiskan saja,” ujar Sholikhah.

Ombudsman mengungkap sejumlah temuan terkait pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2024/2025. Di antaranya terdapat praktik cuci rapot atau mengganti nilai untuk meningkatkan gengsi sekolah hingga manipulasi data demi mengakali jalur zonasi.

"Kami temukan bahwa implementasi di lapangan ternyata masih banyak yang tidak sesuai dengan panduan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dan Keputusan Sekjen Kemendikbud Nomor 47 Tahun 2023 dalam pelaksanaan PPDB ini," kata Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais dalam keterangan yang dikutip dari situs resmi.

Indraza kemudian memerinci lembaganya sudah mendapatkan aduan masyarakat terkait pelaksanaan PPDB. Rinciannya, terjadi dugaan administrasi sebanyak 51 persen; tidak memberikan layanan 13 persen; tidak kompeten 12 persen; diskriminasi 11 persen; penundaan berlarut 7 persen; permintaan imbalan uang, barang dan jasa 2 persen; tidak patut 2 persen; dan penyalahgunaan wewenang 2 persen.

Sementara itu, berdasarkan seleksi jalur PPDB jumlah pengaduan pada jalur prestasi sebanyak 141 laporan, jalur zonasi 138 laporan, tidak ada keterangan 130 laporan, afirmasi 47 laporan dan Perpindahan Tugas Orang Tua (PTO) 11 laporan.

"Dalam jalur zonasi, adanya pemahaman keliru baik juklak dan juknis penentuan zona dimana selama ini masih banyak yang menggunakan jarak padahal dapat juga menggunakan area zona. Untuk afirmasi, seharusnya juga tidak hanya bagi anak yang kurang beruntung secara ekonomi tetapi juga berlaku kepada teman-teman disabilitas," ungkapnya.

Adapun salah satu laporan yang masuk di jalur prestasi, yaitu praktik cuci rapor atau mengganti nilai demi meningkatkan gengsi sekolah. Selain itu, tidak adanya transparansi dalam mengukur dan mengumumkan skor penilaian jalur prestasi.

"Sehingga muncul berbagai permasalahan seperti adanya sertifikat akademik palus hingga masuknya siswa titipan berdasarkan jalur prestasi yang berujung pada penambahan kelas atau rombongan belajar," ungkap Indraza.