Bagikan:

JAKARTA - Dosen Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Nuruddin Lazuardi menilai rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang menjadi salah satu pemicu aksi pengeroyokan yang menewaskan pengusaha rental mobil berinisial BH di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Menurutnya, aksi kekerasan dalam konteks main hakim sendiri bisa ditimbulkan dari bermacam faktor.

“Ada berbagai variabel yang melekat dalam proses main hakim sendiri, salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap tekanan situasi apakah itu ekonomi, politik maupun hukum. Apa yang terlihat di Sukolilo bisa dikatakan, bahwa mereka sudah apatis terhadap hukum, mereka bagaimana sudah tidak puas dengan situasi saat ini,” ujar Nuruddin kepada wartawan, Rabu 12 Juni.

Tak hanya itu, lambannya aparat kepolisian dan pemerintah membenahi wilayah Sukolilo yang dikenal sebagai ‘sarang kejahatan’ juga menjadi sorotan.

Terlebih, kawasan Sukolilo dapat dikenal sebagai kampung sindikat bukan terjadi begitu saja. Pasti, katanya, ada proses panjang hingga daerah tersebut dikenal dengan hal negatif.

“Sukolilo disebut sebagai sebuah kampung sindikat kejahatan itu kan melalui suatu proses. Suatu proses di mana ada keluhan masyarakat, ada banyak stigma-stigma yang dimunculkan oleh publik terhadap area itu,” ucap.

Menurutnya, ketika stempel atau labeling sarang kejahatan itu melekat pada wilayah Sukolilo, semestianya ada upaya untuk membenahinya atau paling tidan meminimalisir. Sehingga, akan menjadi lebih baik untuk daerah yang bersinggungan atau sekitarnya.

“Stempel itu melekat karena tidak dilakukan hal hal untuk membenahi atau meminimalisir agar menjadi wilayah yang lebih baik,“ ungkap Nuruddin.

“Apa yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum, apa yang harus dilakukan pemerintah, kita bicara pencegahan, itu menjadi ranah penegak hukum dan aparat terkait lainnya,” sambungnya.a

Selain itu, Nuruddin juga menyoroti fenomena media sosial yang menurutnya juga memicu aksi main hakim sendiri di masyarakat.

“Saya melihatnya begini, bahwa dari video-video yang beredar bagaimana aksi kekerasan itu dilakukan, sekilas terlihat bahwa mereka merasa tidak bersalah ketika melakukannya. Mereka melakukannnya dengan semangat, melakukannya dengan antusias jadi seolah-olah tidak ada rasa bersalah atau malah mungkin kalau menafsirkannya seolah-olah mereka melakukan kebaikan terhadap kejahatan yang dilakukan,” ujarnya.

“Peristiwa di Sukolilo ini sebuah gambaran bahwa itu bukan lagi jenis kekerasan yang langsung tapi sudah menjadi kekerasan kultural, ini sudah menjadi budaya,” sambung Nuruddin.

Adapun, aksi kekerasan terhadap pemilik rental itu bermula ketika BH (bos rental) dan tiga orang lainnya SH (28), KB (54) serta AS (37) mencari mobil rental yang hilang.

Berdasarkan penelusuran GPS yang mereka lakukan, mobil itu ada di wilayah Sukolilo. Mereka lantas berangkat ke lokasi untuk mencari keberadaan mobil tersebut dan tiba di Sukolilo pada Kamis 6 Juni 2024 sekitar pukul 13.00 WIB dan menemukan mobil yang dicari.

Rombongan rental itu berupaya mengambil mobil dengan kunci cadangan. Nahas, warga yang tengah melintas dan melihatnya mengira BH dan ketiga orang lainnya adalah maling.

Warga lalu berteriak hingga masa berdatangan. Akibatnya keempat orang itu diamuk massa hingga babak belur. Selain itu, mobil yang dikendarai keempatnya dari Jakarta ke Pati, juga habis dibakar massa.