Satu Tahun Pembelajaran Jarak Jauh, Tantangan Kehilangan Pendidikan Masih Menghantui
Pendidikan luring di pelosok daerah (dok. Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Satu tahun sudah pandemi COVID-19 melanda dan berdampak pada Indonesia dalam skala besar dan menambah lapisan risiko baru pada pemenuhan hak-hak anak di Indonesia, dan salah satunya adalah hak pendidikan.

Penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia telah menorehkan sejarah pendidikan darurat nasional terbesar, di mana lebih dari 600 ribu sekolah harus tutup menyebabkan sekitar 60 juta anak harus menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah.

Meski ada sekolah di zona tertentu yang diperbolehkan dibuka dengan memenuhi persyaratan tertentu, namun sebagian besar anak tetap harus belajar dari rumah, baik secara daring maupun luring.

Namun sayangnya, banyak anak di Indonesia yang tidak mampu belajar daring. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi terhadap pendidikan di Indonesia, seperti menurunnya motivasi belajar dan kembali ke sekolah, menurunnya kemampuan literasi dan numerasi, dan ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja dan atau menikah dini.

Terganggunya sistem pembelajaran di Indonesia, akan membuat kehilangan pembelajaran yang kemudian dapat mempengaruhi perolehan kesempatan mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan, serta menghasilkan pendapatan di masa depan.

CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan bahwa Studi Global Save The Children Juli 2020 di 46 Negara khususnya Indonesia, mengindikasikan terdapat 8 dari 10 anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai dan 4 dari 10 anak kesulitan memahami pekerjaan rumah.

Belajar di masa pandemi (dok. Istimewa)

Bahkan, berdasarkan studi tersebut menunjukan fakta bahwa minimal 1 persen anak tidak belajar apapun selama PJJ.

"Tahun 2021 ini harus menjadi tahun yang memastikan anak tetap mendapatkan akses belajar yang berkualitas, karena Pendidikan merupakan Hak Anak yang harus dipenuhi dan juga kunci membangun generasi Indonesia," tuturnya, dalam keterangan tertulis, Minggu, 14 Maret.

Selina mengatakan penerapan PJJ juga bukan lah hal yang mudah, beberapa tantangan dihadapi oleh anak, guru, dan orang tua. Seperti terbatasnya materi, alat, akses terhadap pembelajaran dan pengajaran, infrastruktur yang tidak merata seperti akses internet, jalan, bahkan listrik.

Kemudian, keterampilan guru untuk melakukan PJJ, kapasitas orangtua mendampingi anak belajar, serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri.

Selain itu, kata Selina, tantangan terbesar juga adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk anak. Studi Global Save the Children menemukan bahwa dua pertiga atau 63 persen anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah, dibanding anak laki-laki 43 persen.

Kata Selina, hal ini juga relevan dengan pengakuan 23 persen orang tua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi, selain 1 dari 8 orangtua menyatakan telah terjadi kekerasan dirumahnya. Suara anak yang ingin sekolah/madrasah segera dibuka karena takut dikawinkan pun, juga patut menjadi perhatian.

Mengatasi tantangan tersebut, menurut Selina, penguatan kemampuan resiliensi (beradaptasi dan bertahan) serta berinovasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran dalam sektor Pendidikan sangat diperlukan.

Lebih lanjut, upaya memastikan anak dapat tetap belajar tanpa dibatasi sekat ruang kelas melalui model hybrid learning yakni penggabungan model belajar tatap muka atau luring, mandiri mengunakan komputer, maupun secara virtual atau daring, harus menjadi model pembelajaran. Mengingat banyak sekolah berada di area rawan bencana selain potensi berkembangnya pandemi seperti saat ini.

Karena itu, kata Selina, diperlukan dukungan program untuk meningkatkan kompetensi guru, pihak sekolah, dinas terkait, juga memaksimalkan potensi anak dan remaja, orang tua dan keluarga, pengasuh, serta kolaborasi dengan komunitas, mitra pembangunan, swasta, industri, serta seluruh elemen pemerintah.

Kesulitan untuk mengikuti PJJ ini diakui oleh Stella (15) dari Nusa Tenggara Timur sebagai perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia.

"Teman-teman saya yang tinggal di desa, susah untuk mendapat sinyal. Dan banyak dari mereka juga yang tidak punya handphone. Jadi kadang sama sekali tidak belajar atau susah dapat informasi dari ibu guru padahal mereka sangat ingin belajar," kata Stella.

Stella berujar pendidikan sangat penting untuk anak-anak. Karena, anak-anak yang akan melanjutkan perjuangan untuk mengembangkan bangsa Indonesia.

"Indonesia membutuhkan anak-anak yang berkualitas. Jika anak-anak tidak bisa belajar, tidak mendapat pendidikan yang berkualitas maka Indonesia tidak akan maju," ucapnya.

Terkait