JAKARTA - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta membentuk Sekolah Perempuan Kota Yogyakarta atau "Koper Kota" untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan perempuan penyintas kekerasan.
"'Koper Kota' hadir untuk meningkatkan kualitas dan keberdayaan perempuan rentan, utamanya penyintas kekerasan," ujar Kepala Bidang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan DP3AP2KB Kota Yogyakarta Ria Rinawati dalam keterangan resmi di Yogyakarta, dikutip dari Antara, Sabtu 18 Mei.
Berdasarkan catatan DP3AP2 DIY pada 2023, Ria menyebutkan kasus kekerasan di DIY masih tinggi dengan jumlah mencapai 248 kasus.
"Namun ini bagaikan fenomena gunung es dimana jumlah kasus yang muncul ke permukaan atau terlaporkan lebih kecil dibandingkan kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat, sehingga korban tidak terjangkau untuk mendapat penanganan yang tepat," kata dia.
Karena itu, melalui Sekolah Perempuan Kota Yogyakarta atau "Koper Kota" yang resmi diluncurkan pada Jumat 17 Mei, dia berharap bisa menjadi wadah atau ruang aman bagi perempuan rentan untuk meningkatkan kapasitas diri dan pengetahuan yang dibutuhkan, termasuk pengetahuan terkait hak-hak mereka agar tidak kembali menjadi korban kekerasan.
"Meningkatkan kepercayaan diri perempuan penyintas supaya berani menunjukkan potensinya dan berani mengambil keputusan bagi hidupnya. Juga meningkatkan keterampilan sehingga perempuan penyintas kekerasan memiliki bekal untuk dapat mandiri secara ekonomi," ucap Ria.
Pada Mei 2024 Koper Kota telah menyasar dua kelompok penyintas kekerasan dengan jumlah anggota kurang lebih 25 orang dengan kegiatan mulai pendampingan, peningkatan pengetahuan dan wawasan, serta peningkatan keterampilan dan kelompok dukungan.
Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo mengapresiasi program Koper Kota sebagai inovasi luar biasa dalam memberikan aksi nyata atas kepedulian bersama pada perempuan penyintas kekerasan.
Singgih berharap sekolah itu dapat menjadi wadah untuk mengedukasi, memotivasi dan memitigasi potensi kekerasan yang dapat menimpa perempuan.
"Karena di dalam setiap kelasnya juga ada pendampingan psikologis, yang tentunya bisa membantu penyintas bisa pulih dari trauma yang dialami," ujar dia.
BACA JUGA:
Singgih berharap dalam implementasinya dapat menjadi ruang yang aman dan tenang bagi penyintas, kemudian dapat menjaga agar mereka tidak diekspose, berfokus pada pendampingan, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan penyintas.
Septiyani, Ketua Kelompok Perempuan Istimewa atau Perisai berharap sekolah tersebut dapat memberikan dukungan moral bagi para perempuan penyintas agar tidak putus asa atas apa yang telah dialami.
"Bisa melanjutkan hidup supaya lebih baik, mandiri dan pelan-pelan bisa mengurai trauma yang dialami. Karena apa yang telah dialami penyintas adalah hal berat, yang tidak hanya berdampak pada kondisi psikologis saja, tapi juga sosial ekonomi," tutur Septiyani.