JAKARTA - Lebih dari setengah kasus kekerasan di sekolah adalah kekerasan seksual yang melibatkan anak. Per Agustus 2023, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan, 487 kasus merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah.
Bagaimana seharusnya peran guru dalam menangani masalah sensitif tersebut sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP)? Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK, Sekolah Tinggi Hukumm (STH) Indonesia Jentera dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya menghadirkan webinar berjudul "Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah", Sabtu, 24 Februari.
Ardyles Faesilio, Ketua KGSB mengapresiasi antusiasme guru dalam mengikuti webinar. Acara yang berlangsung selama lebih dari dua jam tersebut diikuti 279 peserta yang terdiri dari 238 anggota KGSB dan 41 partisan non anggota KGSB dari seluruh wilayah Indonesia, ditambah guru yang berdomisili di Timor Leste. Webinar sekaligus sebagai wadah pembelajaran penanganan kekerasan seksual di sekolah, dengan guru sebagai garda terdepannya.
“Isu kekerasan seksual menjadi salah satu prioritas KGSB, selain isu kesehatan mental, terlebih kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah. Peningkatan peran guru menjadi salah satu upaya kami untuk memberikan edukasi terkait Langkah-langkah yang tepat dalam menanganinya” ujar Lio.
BACA JUGA:
Memahami SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah
Setiap jenjang pendidikan harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan tindak kekerasan seksual di sekolah sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Penanganan tindak kekerasan seksual harus sesuai dengan prinsip dukungan psikologis atau psychological first aid (PFA) yang meliputi, safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate.
Terkait dengan aturan penanganan kekerasan seksual di sekolah, Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKSP) STH Indonesia Jentera, Reny Rawasita Pasaribu, S.H., LL.M mengungkapkan, “Permendikbudristek PPKSP sebenarnya telah menghilangkan area ‘abu-abu’ dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.”
Definisi kekerasan seksual sebagaimana termuat dalam pasal 10 ayat 1 Permendikbudristek PPKSP adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud pada ayat di atas antara lain penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban dan perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.
Bentuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan melalui pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban; perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual; perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual dan penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual.
Di luar poin-poin di atas, masih ada belasan bentuk kekerasan seksual yang dimuat dalam aturan tersebut termasuk (percobaan) perkosaan dan human trafficking.
Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga memastikan tidak ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi serta penyediaan sarana dan prasarana.
Terkait dengan itu, dalam pasal 24 aturan tersebut terdapat ketentuan agar satuan pendidikan membentuk tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Sementara penanganan kekerasan (seksual) dilakukan melalui mekanisme penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, lalu tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan dan pemulihan.
“Nah di sinilah SOP menjadi sangat penting karena akan memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada TPPK dan Kepala Satuan Pendidikan. Juga untuk memberikan jaminan kepastian proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi dan semua pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan (seksual),” papar Reny lagi.
Lebih dari itu, lanjut Reny, SOP juga akan menjadi titik tolak terbentuknya sistem pencegahan dan penanganan yang efektif, efisien, dan berprespektif korban, serta terus berkembang untuk kasus kekerasan (seksual) di lingkungan satuan pendidikan. Adanya SOP sekaligus menujukkan keseriusan lingkungan pendidikan dalam penanganan kasus kekerasan (seksual) sebagai upaya jaminan ketidakberulangan.
Dukungan Psikologis Guru Pemutus Rantai Kekerasan Seksual
Dari sisi kejiwaan, Ketua Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Pelecehan Universitas Brawijaya, Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi, Psikolog mengatakan peran guru sangat penting untuk memutus rantai kekerasan seksual di sekolah. Jika menemukan kasus terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, guru bisa bertindak sebagai pendamping (bystander).
Namun Ulifa mengingatkan, dalam peran tersebut guru harus memegang teguh beberapa prinsip agar penyintas kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang tepat. Antara lain, prinsip membantu korban dengan prioritas pemulihan bagi korban, melalui persetujuan korban berdasarkan informasi yang ia terima (informed consent).
Kedua, prinsip membantu tanpa menghakimi. Untuk itu guru perlu memahami reaksi tubuh korban terhadap trauma dan memahami cara merespon beragam dampak trauma yang sedang dirasakan penyintas. Cukup dengarkan curhat korban tanpa penghakiman dan kembalikan lagi semua keputusan kepada korban tanpa paksaan.
Oleh karena itu, sebagai pendamping guru harus bisa menempatkan diri pada posisi penyintas. Ia harus sensitif terhadap situasi dan kebutuhan penyintas, mampu menjangkau dan memberi dukungan, dengan mendengarkan dan akui perasaan mereka.
Lebih daripada itu, guru dan pendamping juga harus memahami berbagai jenis pelecehan/kekerasan sehingga dapat mengidentifikasinya dengan lebih baik serta memahami landasan hukumnya.
Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd, CEP, CHt. mengimbau, guru sebagai orang yang dekat dengan siswa didik, harus memiliki kesadaran untuk bersama-sama mencegah kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang dimulai dengan belajar, mendalami dan terlibat sebagai inisiator untuk mencegah kejadian. Sebagai pemungkas, Ulifa mengajak seluruh pelaku dunia pendidikan untuk bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang aman aman dan nyaman, dengan meningkatkan kesadaran seluruh civitas akademika.