JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 43 merek telah terdaftar di sistem rekordasi (perekaman) kekayaan intelektual yang dimiliki Bea Cukai berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait sejak 2018-Mei 2024.
Kepala Sub Direktorat Kejahatan Lintas Negara Bea Cukai Sonny Surachman Ramli menyebutkan, pendaftaran 43 merek ke sistem rekordasi tersebut dilakukan oleh 7 pemegang hak kekayaan intelektual, yang terdiri atas tiga perusahaan asing dan empat perusahaan lokal.
"Dari 43 merek yang didaftarkan, sebanyak 21 merek merupakan merek asing, sedangkan sisanya sebanyak 22 merek merupakan merek lokal," ungkap Sonny dalam acara Intellectual Property Crime Forum yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa 7 Mei, disitat Antara.
Dia menuturkan pendaftaran merek ke sistem rekordasi Bea Cukai setiap tahunnya semakin meningkat. Pada 2018, terdapat tiga merek yang didaftarkan, kemudian bertambah menjadi 11 merek di 2019, 19 merek di 2020, 24 merek di 2021, 26 merek di 2022, 32 merek di 2023, serta 43 merek per Mei 2024.
Rekordasi adalah kegiatan untuk memasukkan data hak kekayaan intelektual ke dalam basis data kepabeanan yang dimiliki Bea Cukai. Sonny menjelaskan setidaknya terdapat tiga manfaat umum dari sistem rekordasi di Bea Cukai.
Pertama, penindakan terhadap barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual dapat dilakukan di pelabuhan masuk atau perbatasan. Ia mengatakan dalam hal tersebut barang yang ditegah atau ditindak biasanya berjumlah sangat besar, misalnya satu kontainer.
"Pencegahan ini efektif dan efisien sebelum barang hasil pelanggaran diedarkan di pasar dalam negeri," katanya.
BACA JUGA:
Kemudian manfaat yang kedua dari sistem rekordasi, lanjut dia, yaitu melindungi proses bisnis dari pemegang hak kekayaan intelektual.
Dalam hal tersebut, ia menyampaikan produk akan terlindungi dari upaya pemalsuan dan pelanggaran kekayaan intelektual, pemegang hak dapat menjaga kepercayaan konsumen terhadap produknya di pasaran, serta menjaga reputasi merek dari kemerosotan yang disebabkan produk palsu dengan kualitas rendah.
Manfaat ketiga, sambung Sonny, yakni dari aspek makro, di mana akan meningkatkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, serta memulihkan kepercayaan dunia internasional terhadap keseriusan Indonesia dalam pemberantasan produk palsu.