Bagikan:

JAKARTA - Saksi pemilihan untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menolak untuk menandatangani hasil rekapitulasi suara Pilpres 2024 di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Selatan.

Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) Iwan Tarigan mengaku penolakan penandatanganan berita acara rekapitulasi suara di sejumlah provinsi memang sesuai instruksi tim pemenangan capres-cawapres Koalisi Perubahan.

"Mengenai Hasil Rekap Jawa Timur, Jateng dan Sumsel yang tidak ditandatangani oleh saksi AMIN, Timnas AMIN telah menginstruksikan kepada para saksi-saksi paslon AMIN di pelbagai tingkatan untuk menolak hasil rekapitulasi perolehan suara di Pilpres 2024," kata Iwan kepada wartawan, Rabu, 13 Maret.

Ketidaksetujuan atas hasil rekapitulasi suara di beberapa daerah tersebut, menurut Iwan, juga menjadi bekal bagi tim Anies-Muhaimin untuk melengkapi berkas gugatan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang bakal diajukan kelak.

"Kami hanya memastikan Timnas AMIN sedang menyiapkan pelbagai hal teknis untuk mengajukan sengketa ke MK. Pelbagai rancangan bahan-bahan dari Timnas AMIN ke MK itu bisa digunakan untuk mendukung pengajuan hak angket," ungkap dia.

Sebelumnya, penolakan hasil Pilpres 2024 salah satunya diungkap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, Andika Pranata yang menyebut adanya keberatan saksi dari pasangan calon nomor urut 1 untuk menandatangani berita acara dan D Hasil Provinsi.

Hal ini Andika sampaikan saat rapat pleno rekapitulasi perolehan suara di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, pada Senin, 11 Maret.

"Kejadian khusus keberatan saksi pasangan calon nomor urut 1 tidak bersedia menandatangani berita acara dan D Hasil Provinsi," kata Andika saat membacakan catatan kejadian khusus untuk provinsi Sumatra Selatan jenis pemilu presiden dan wapres.

Selain itu, Andika menjelaskan, saksi tersebut beralasan bahwa paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran diduga melanggar batas usia cawapres.

"Serta terdapat dugaan intervensi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang dibuktikan dengan uraian dissenting opinion hakim MK dan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan ketua MK melanggar kode etik," ungkap dia.