Bagikan:

JAKARTA - Menteri sayap kanan Israel mengatakan, keputusan pemerintah negara itu tidak mengurangi jemaah Muslim di Masjid Al-Aqsa selama Ramadan akan membahayakan warga Israel.

Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir mengatakan, keputusan Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk tidak mengurangi jumlah jemaah Muslim yang diizinkan mengunjungi Masjid Al-Aqsa selama Ramadan, membahayakan warga Israel.

"Itu menunjukkan Perdana Menteri Netanyahu dan kabinet kecilnya berpikir, tidak terjadi apa-apa pada 10/7. Keputusan ini membahayakan warga Israel dan mungkin memberikan gambaran kemenangan bagi Hamas,” kata Ben Gvir dalam pernyataan yang dirilis kantornya, merujuk pada serangan kelompok Hamas, seperti dikutip dari CNN 6 Maret.

Ben Gvir, pemimpin partai Kekuatan Yahudi yang sangat nasionalis, sebelumnya telah menganjurkan untuk membatasi jumlah jamaah Muslim yang diizinkan mengunjungi kompleks tersebut selama Ramadan.

Sebelumnya, kantor PM Benjamin Netanyahu mengumumkan Hari Selasa, Israel tidak akan mengurangi jumlah jamaah yang diperbolehkan beribadah di Temple Mount pada minggu pertama Ramadan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kantor perdana menteri mengatakan, "penilaian situasi seputar keamanan dan keselamatan" akan dilakukan setiap minggu dan "keputusan akan diambil berdasarkan hal tersebut," dikutip dari The Times of Israel.

"Ramadan adalah hari suci bagi umat Islam, dan kesucian hari raya tersebut akan dipertahankan tahun ini, seperti yang terjadi setiap tahun," janji kantor PM Netanyahu, menolak usulan Ben-Gvir.

PM Netanyahu mengatakan pada awal pertemuan keamanan mengenai persiapan Ramadan, pemerintah memprioritaskan kebebasan beribadah untuk semua agama. Keputusan soal jumlah tersebut diambil setelah pertemuan itu.

Mengutip Xinhua, Kompleks Masjid Al-Aqsa, yang dikenal oleh orang Yahudi sebagai Temple Mount, dianggap oleh umat Islam sebagai situs tersuci ketiga mereka. Situs ini diawasi oleh Wakaf Yordania tetapi terletak di Yerusalem Timur, wilayah yang dianeksasi oleh Israel setelah pertama kali direbut dalam perang Timur Tengah tahun 1967.