Bagikan:

JAKARTA - Pasukan penjaga perdamaian PBB mulai menarik diri secara bertahap dari Republik Demokratik Kongo bagian timur yang bergolak pada Hari Rabu, menyerahkan sebuah pangkalan kepada pihak berwenang Kongo, kata misi penjaga perdamaian dalam sebuah pernyataan.

Pasukan penjaga perdamaian yang tergabung dalam misi MONUSCO, telah dikerahkan di negara itu selama levih dari 13 tahun, mengambil alih tugas dari operasi PBB sebelumnya pada tahun 2010 untuk membantu mengatasi ketidakamanan di bagian timur negara Afrika Tengah tersebut, tempat kelompok-kelompok bersenjata berebut wilayah dan sumber daya.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran pasukan berkekuatan 13.500 personel tersebut menjadi semakin tidak populer, karena dianggap gagal melindungi warga sipil dari meningkatnya kekerasan milisi, sehingga memicu protes mematikan.

Dewan Keamanan PBB menyetujui penghentian misi tersebut pada Bulan Desember lalu, setelah Presiden Felix Tshisekedi pada Bulan September meminta agar penarikan misi tersebut dipercepat.

Di pangkalan Kamanyola di Kivu Selatan, kontingen penjaga perdamaian Pakistan menurunkan bendera PBB, ketika kepala MONUSCO Bintou Keita menyerahkan kuncinya kepada pemerintah provinsi setempat.

Pangkalan tersebut, yang didirikan pada tahun 2005, akan dikelola oleh kepolisian nasional, kata PBB.

"Kami berharap penyerahan Kamanyola, dikombinasikan dengan pembangunan gardu induk Kepolisian Nasional Kongo yang sedang berlangsung oleh MONUSCO, akan menjadi model dan inspirasi bagi proses pelepasan MONUSCO selanjutnya," kata Keita dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters 1 Maret.

Tahap pertama dari tiga tahap penarikan ini akan menyebabkan sekitar 2.000 tentara meninggalkan 14 pangkalan di provinsi Kivu Selatan pada akhir Bulan April. Misi tersebut nantinya akan ditarik dari Provinsi Kivu Utara dan Ituri pada fase berikutnya.

Tokoh masyarakat sipil Asifiwe Balagizi Andre mengatakan, serah terima tersebut merupakan peristiwa bersejarah.

"Kami sekarang menyerukan pemerintah kami untuk memainkan peran penuhnya dalam menjamin keselamatan penduduk dan harta benda mereka," katanya.

Diketahui, situasi keamanan di negara itu masih akut. Bentrokan meningkat antara tentara Kongo dan pemberontak M23 Tutsi yang didukung Rwanda di Kongo timur, sehingga menyebabkan jumlah pengungsi internal di Kivu Utara saja menjadi 1,6 juta orang hingga pertengahan Februari, memperburuk krisis kemanusiaan yang telah berlangsung selama beberapa dekade.