Perpres Jokowi Soal Investasi Miras: Devisa Tak Seberapa, Kerusakan Besar
Ilustrasi (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan Perpres No 10 Tahun 2021 akan memicu maraknya miras oplosan, ilegal dan palsu. 

Miras oplosan, ilegal dan palsu dikhawatirkan akan beredar di luar provinsi yang diperbolehkan dalam perpres tersebut.

"Ini sangat sering terjadi. Aparat kepolisian dan BPOM sudah sering menangkap para pelakunya," kata Daulay dilansir Antara, Minggu, 28 Februari.

Ia mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia menolak miras. Pasalnya, miras dikhawatirkan dapat memicu tindakan kriminalitas. Para peminum miras sering melakukan kejahatan di luar alam bawah sadarnya.

"Saya menduga, devisanya tidak seberapa, tetapi kerusakannya besar. Ini cukup termasuk ancaman bagi generasi milenial yang jumlahnya sangat besar saat ini," kata dia.

Sementara Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas mengatakan aturan yang membolehkan industri minuman keras dapat memicu eksploitasi.

“Kebijakan ini tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi,” kata Anwar saat dihubungi dari Jakarta, dilansir Antara, Minggu, 28 Februari.

Ia mengatakan aturan yang menjadikan industri miras sebagai usaha terbuka akan merugikan bagi masyarakat.

Peraturan tersebut, kata dia, akan membuat peredaran miras menjadi semakin terbuka.

Senada, Waketum MUI Anwar Abbas mengatakan regulasi miras nampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat.

“Fungsinya sebagai pelindung rakyat tentu tidaklah akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak serta akan menimbulkan kemafsadatan bagi rakyatnya,” kata dia.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid ini mengatur penanaman modal minuman keras mengandung alkohol di sejumlah provinsi. Antara lain Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.