JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra menanggapi film Dirty Vote yang viral pascadirilis pada hari pertama masa tenang Pemilu 2024 melalui kanal YouTube pada Minggu 11 Februari.
Menurutnya, film garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono ini tidak bisa disebut sebagai dokumenter. Musababnya, kata dia, konten utama dalam tayangan berdurasi dua jam itu adalah cuplikan pemberitaan dan tanggapan dari tiga pakar hukum.
"Ketiga pakar tersebut mengomentari berbagai hal yang terjadi dari berbagai pemberitaan, kemudian mereka memberikan pendapat. Ya pendapat itu bisa ditafsirkan oleh banyak orang, termasuk adanya kemungkinan kecurangan Pemilu 2024," kata Yusril dalam keterangannya, Selasa 13 Februari.
Guru besar hukum tata negara itu juga menyoroti waktu perilisan Dirty Vote. Dia menilai film tersebut sebagai propaganda lantaran diluncurkan beberapa hari menjelang hari pemilihan.
“Ada yang mengatakan ini ‘Dirty Vote’ versus ‘Dirty Propaganda’. Satu judul film mengatakan soal pemilu yang kotor, satunya lagi soal propaganda kotor terhadap pihak tertentu yang berasa di seberang dari si pembuat film,” ujar Yusril.
Lebih lanjut, Yusril merespons perubahan sikap calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka yang menjadi sorotan dalam Dirty Vote.
Menurutnya politik sifatnya dinamis. Maka sangat wajar apabila ada orang yang semula mengaku tidak tertarik pada politik, lanjut dia, kemudian ikut meramaikan pesta demokrasi.
"Saya melihat itu sebenarnya normal saja. Bisa juga kita katakan politik itu dinamis. Mungkin satu ketika anak presiden belum tertarik pada dunia politik, tapi sekarang bisa saja berubah dan tertarik masuk ke dalam dunia politik," kata Yusril.
BACA JUGA:
Ihwal isu yang diangkat dalam film, seperti dugaan ketidaknetralan penyelenggara dan pejabat negara dalam pelaksanaan Pemilu 2024, tidak hanya dialamatkan kepada pasangan Prabowo-Gibran semata. Dia menambahkan, pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi pihak lain yang turut dituduh melakukan kecurangan.
Sayangnya, kata Yusril, hanya sedikit sekali tayangkan yang memperlihatkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
“Sehingga wajar saja orang bertanya-tanya ini film sponsornya siapa, membawa pesan paslon tertentu atau tidak," tegas Yusril.
Kendati menganggap Dirty Vote tendensius, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyampaikan bahwa film tersebut adalah bagian dari kebebeasan berekspresi.
"Tayangan film ini kita hormati sebagai kebebasan berekspresi. Orang berbeda pendapat itu normal saja. Kalau tiga orang akademisi yang muncul dalam tayangan itu mengkritisi pemilu, toh orang juga bisa mengkritisi terhadap pandangan yang mereka sampaikan," tuturnya.
Yusril pun mengingatkan agar masyarakat tidak terpecah belah setelah menonton film tersebut. Pasalnya, perbedaan pendapat dan pilihan adalah hal yang lumrah, sehingga harus disikapi dengan bijaksana.
"Semoga masyarakat luas berpikir jernih dan objektif dan menilai bahwa pemilu tidak akan 100% ideal seperti yang kita harapkan. Kemungkinan kekurangan di sana sini itu akan terjadi, tidak dapat kita hindari. Tapi paling penting adalah pemilu yang benar-benar jujur dan adil seperti yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945 dan UU Pemilu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," tandasnya.