Tim Hukum AMIN Berikan Analisa Hukum ke KPU-Bawaslu Soal Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye-Memihak
FOTO VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin (AMIN) Ari Yusuf Amir menyebut pihaknya telah membuat analisa hukum mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden boleh berkampanye dan memihak di pemilu.

Analisa hukum ini diserahkan Timnas AMIN kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk ditelusuri penyelenggara pemilu tersebut.

"Kami sudah membuat analisa hukumnya. Analisa hukumnya sudah kami sampaikan ke Bawaslu ke pihak KPU juga. Kita menyesalkan sikap itu. Nah, nanti tinggal sikapnya KPU dan Bawaslu mengambil sikap bagaimana," kata Ari di Palembang, Kamis, 25 Januari.

Dari analisa ini, Ari mengkhawatirkan jika Jokowi benar turun gunung untuk berupaya memenangkan salah satu pasangan capres-cawapres, maka akan merusak stabilitas politik di Indonesia.

Sebab, Ari khawatir keberpihakan ini akan diikuti oleh aparat negara seperti ASN, TNI, dan Polri yang seharusnya bersikap netral.

"Seandainya mereka berpihak, itu terjadi chaos, bagaimana? Anda bisa bayangkan kalau seandainya nanti ASN, TNI, Polri itu berpihak ke salah satu paslon, lalu paslon yang lain tidak meyakini, tidak percaya dengan mereka, bagaimana mereka menjaga ketertiban sosial di masyarakat?" cecar Ari.

Analisa hukum tersebut sebelumnya dijelaskan oleh Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) Iwan Tarigan.

Iwan memandang, pernyataan tersebut menimbulkan kekhawatiran atas abuse of power Jokowi sebagai kepala negara. Hal ini terjadi dalam bentuk kebijakan atau keputusan yang mengarah kepada keuntungan salah satu peserta pemilu.

"Jika tindakan presiden bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang. Presiden juga dapat dikategorikan bertindak sewenang-wenang jika keputusan atau tindakannya dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata Iwan dalam keterangannya.

Iwan menguraikan, penyalahgunaan wewenang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Tindakan mencampuradukkan wewenang dapat berupa tindakan yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan," ungkap Iwan.

Meski tidak ada aturan yang melarang presiden berpihak dan berkampanye, Iwan menyebut ada aturan yang dapat ditafsirkan sebagai tuntutan kepada presiden untuk bersikap netral dalam pemilu.

Aturan tersebut yakni Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu diatur bahwa KPU melapor kepada DPR dan presiden mengenai pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu dan tugas lainnya.

Selain itu, dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu diatur bahwa presiden berperan dalam membentuk keanggotaan tim seleksi dalam menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Sehingga, presiden dituntut untuk netral selama proses pemilu.

"Apabila keberpihakan presiden dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan ataupun keputusan tertentu dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan salah satu peserta pemilu tertentu, maka tindakan tersebut berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang," tegasnya.