BANDA ACEH - United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menyatakan pelarian pengungsi Rohingya dari tempat penampungan di Aceh ke tempat tujuan lain bisa mengarah ke jaringan penyelundup karena keterpaksaan atau tidak punya pilihan.
"Termasuk menggunakan jaringan penyelundup (perjalanan tidak resmi), karena mereka tidak memiliki pilihan, dan putus asa dalam upaya mereka bersatu dengan keluarga mereka," kata Juru Bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono dilansir ANTARA, Rabu, 24 Januari.
Pernyataan itu disampaikan Mitra merespons terkait kembali adanya tiga pengungsi Rohingya yang keluar atau kabur dari lokasi pengungsian sementara di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh, kemarin, Selasa (23/1).
Mitra menyampaikan, berdasarkan kejadian masa lalu, banyak pengungsi yang kemudian diketahui berpindah dari Aceh, dan karena mereka tidak memiliki kartu identitas atau dokumen perjalanan.
Akibatnya, mereka tidak bisa menempuh perjalanan dengan cara-cara yang resmi (seperti dengan paspor, menggunakan visa, membeli tiket dan melalui bandara).
Akhirnya, para pengungsi Rohingya tersebut terpaksa harus menempuh perjalanan yang tidak resmi, hingga menggunakan jasa dari jaringan penyelundupan karena keputusasaan.
"UNHCR terus berkoordinasi dengan pihak otoritas dan mitra kerja kami di lapangan untuk memastikan bahwa pengamanan selalu ada di tempat penampungan," ujarnya.
Pengungsi Rohingya meninggalkan tempat penampungan di Indonesia untuk beberapa alasan, seperti ingin bersatu dengan keluarga mereka yang terpisah di negara tetangga (Malaysia).
BACA JUGA:
Dalam rangka mencegah pelarian, kata Mitra, pihaknya selalu memberikan konseling kepada pengungsi terkait bahaya atau resiko jika menempuh perjalanan lanjutan seperti itu.
"Sebagai upaya pencegahan, konseling ini kami sampaikan secara rutin kepada para pengungsi," katanya.
Dirinya menjelaskan, para perempuan, pria dan anak-anak yang rentan seperti mereka tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seperti itu. Meskipun telah mengetahui resikonya.
Artinya, semua itu menunjukkan adanya keputusasaan mereka dalam mencari solusi jangka panjang supaya dapat bersatu kembali dengan keluarga masing-masing.
"Solusi jangka panjang, butuh kerjasama antar negara di kawasan ini, di mana setiap negara diharapkan berkontribusi dalam semangat pemerataan tanggung jawab," demikian Mitra Salima.