JAKARTA - Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) Sudirman Said melabelkan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin yang meneruskan praktik nepotisme sejak era Presiden Soeharto pada zaman Orde Baru.
Label nepotisme diungkap Sudirman saat menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampaye serta memihak pada salah satu peserta pemilu.
"Kalau saya nyebutnya nepotisme. Yang mendorong Reformasi (tahun) 98 itu, kan nepotisme yang akut, ya.
Sekarang sedang dibangun kembali dan kita tak mau menerima itu. Kita menolak nepotisme. Kita tolak tindakan-tindakan yang melawan demokrasi," kata Sudirman di Rumah Perubahan, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Januari.
Praktik nepotisme yang dikhawatirkan Sudirman adalah potensi penyalahgunaan wewenang atau kebijakan pemerintah yang menguntungkan anaknya, yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres nomor urut 2, berpasangan dengan Prabowo Subianto.
"Kalau saja putranya tidak ikut dengan cara-cara yang dipaksanakan. kalau saja putranya masuk bukan dengan cara merubah UU, bukan dengan pertolongan pamannya, barangkali memang publik bisa terima," ungkap Sudirman.
"Tapi itu semua diterobos. Kita ingatkan ada soal etik dalam pencalonan. Ini makin hari makin ada penurunan norma yang tujuannya adalah untuk kepentingan keluarga," lanjut dia.
Jika ketidaknetralan pemimpin negara dalam kontestasi pemilu terus dibiarkan, Sudirman Said menyebut asas demokrasi yang dibangun selama ini akan berujung cacat.
"Kalau ini terus terjadi kualitas dari pemilu kita makin makin rendah, dan harap ingat bahwa seluruh dunia sekarang sedang melihat pemilu kita," tutur mantan Menteri ESDM tersebut.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Jokowi menegaskan tiap orang punya hak politik dan demokrasi, termasuk para menteri. Bahkan, Jokowi mengatakan seorang presiden pun boleh memihak dan berkampanye.
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang setiap menteri sama saja. Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh,” ungkap Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Jokowi menyebut, sebagai pejabat publik, dirinya maupun para menteri boleh berpolitik. Tapi, yang harus diingat, fasilitas negara tidak boleh digunakan selain untuk pekerjaannya.
“Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” tegasnya.
“Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, boleh. Menteri juga boleh,” sambung Jokowi.
Meski begitu, Jokowi tak menjelaskan banyak soal kepastian tidak adanya konflik kepentingan jika presiden dan para menteri memihak pasangan tertentu di Pilpres 2024. Ia hanya mengatakan perundangan hanya melarang penggunaan fasilitas negara.
“Itu saja, yang mengatur hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Itu aja,” pungkasnya.