Bagikan:

JAKARTA – Guru besar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebutkan Undang-Undang Pemilu tidak melarang presiden ikut kampanye pemilu. Beleid yang sama juga tidak melarang kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung; ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi; serta ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Dia menegaskan, tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden (wapres) atau menteri di dalamnya.

Sementara, Pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Kendati begitu, UU tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wapres yang berkampanye.

“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres-cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak,” kata Yusril, disitat Kamis 25 Januari

“Aturan kita tidak menyatakan bahwa presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekuensi dari sistem presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” sambungnya.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode. Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” tuturnya.

Yusril menekankan tidak ada yang salah kepada Presiden Jokowi jika dia berpihak pada salah satu kandidat Pilpres 2024. Dia melanjutkan, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” katanya.

“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia Yusril.

Atas dasar itulah Yusril yang juga anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran  mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi.

“Kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing,” tegas Yusril.