JAKARTA - Sebanyak 100 tokoh yang tergabung dalam Penegak Kedaulatan Rakyat mendesak Presiden Joko Widodo untuk dimakzulkan. Desakan ini terjadi jelang Pemilu 2024 yang akan berlangsung satu bulan lagi.
Desakan para tokoh itu disampaikan saat bertemu dengan Menkopolhukam Mahfud MD. Dalam kesempatan itu, Mahfud menilai hal itu merupakan urusan DPR dan partai politik. Prosesnya pun harus melalui berbagai tahapan.
Sekretaris Pusat Kajian Bela Negara Universitas Bhayangkara Jakarta, Djuni Thamrin menilai peristiwa ini merupakan dagelan politik, dimana para pelakonnya tidak mengerti tata negara dan aturan perundang-undangan.
“Ini bukti bahwa demokrasi kita masih belum dewasa,” ujar Djuni dalam keterangan resmi.
Djuni menjelaskan pemilu merupakan instrumen formal demokrasi. Pada pelaksanaannya harus diletakkan dan dijaga dengan etika yang baik dan demokrasi yang matang.
“Kita sedang menjalankan tahapan pemilu yang LUBER dan demokratis, sehingga tidak boleh disela dengan beragam interupsi politik yang berpotensi menyulut keributan dan menggagalkan tahapan pemilu yang mau take off ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Djuni berkata pemakzulan presiden adalah urusan politik di DPR yang harus mengikuti tatacara yang sudah diatur. Pekerjaan itu adalah hak DPR sebagai mekanisme check and balance.
“Sehingga menjadi ‘salah kamar’ para inisator mengadu dan minta Kemenko Polhukam mendorong inisiasi pemakzulan Presiden Joko Widodo,” ujar Djuni.
Djuni menyampaikan proses pemakzulan presiden memerlukan 2/3 dari anggota DPR menyetujui agenda tersebut dan 2/3 yang hadir melakukan pemungutan suara.
“Saat kini semua anggota DPR berbagai level sedang mengurus nasibnya masing-masing untuk menghadapi kontestasi pemilihan umum. Sehingga hampir tidak mungkin dapat mewujudkan desakan tersebut,” ujarnya.
BACA JUGA:
Di sisi lain, Djuni berkata tuntutan dan agenda pemakzulan untuk bisa diwujudkan sebagai gerakan haruslah massif dan menjadi perhatian nasional, dimana Presiden terbukti telah melanggar sumpah atau melakukan tindakan pidana berat atau melakukan korupsi tingkat tinggi yang memang harus dimakzulkan.
Tuntutan tersebut juga harus disertai pula dengan bukti-bukti awal yang kuat. Kemudian perlu mendapat persetujuan dari 2/3 anggota DPR untuk menjadikan tuntutan tersebut diteruskan pada proses selanjutnya.
“Dalam kasus ini, tuntutan seperti sekarang ini terkesan sangat ‘garing’ dan terlihat menjadi komoditas politik praktis dalam suatu kontestasi. Semacam agenda setting tertentu untuk di goreng-goreng seperti yang sering terjadi dalam setiap pemilu,” ujar Djuni.
Tak hanya itu, Djuni mengimbau semua pihak mewaspadai bahwa gerakan politik ini tidak murni untuk koreksi perbaikan demokrasi Indonesia di masa mendatang. Tetapi merupakan gerakan politik untuk “melakukan testing” atas stabilitas nasional.
“Polri mempunyai tanggung jawab untuk menangani secara profesional gerakan ini. Bila penyelenggara pemilu dan penanggung jawab keamanan dalam negeri lengah, maka gerakan ini dapat mengecoh rakyat dan mengganggu keamanan dalam negeri,” ujarnya.
Bahkan, pada tingkatan tertentu diprediksi dapat mengganggu jalannya pemilu serentak yang baru pertama kali dijalankan di Indonesia. Sehingga, Polri diimbau segera bergerak cepat dan menunjukan kredibilitasnya sebagai penjaga keamanan dan tertib sosial dalam negeri.
“Polri yang juga pernah diisukan tidak netral dalam pemilu serentak ini, kali ini dapat menunjukan pada publik bahwa Polri netral dan profesional dalam mengawal pemilu serentak. Dengan menggunakan kasus ini, Polri justru sekaligus dapat menunjukan pada publik bahwa Polri dapat menegakan hukum dan menjaga keamanan dalam periode pemilu serentak,” ujar Djuni.
Upaya preventif dan preemtif, lanjut Djuni dapat dijalankan oleh Polri dalam menangani kasus tuntutan pemakzulan presiden Jokowi. Sehingga gerakan ini tidak sempat membesar dan meluas serta mendapatkan dukungan yang luas dari warga negara lainnya.
“Saat kini, Polri perlu mengakomodasi kelompok intelektual yang dapat memberikan argumentasi akademis yang menopang tugas-tugas Polri yang harus disebar secara masif oleh media massa dan media sosial,” ujarnya.
Lebih dari itu, kelompok ini perlu memproduksi dan mengkonstruksi diskursus positif kebangsaan, amanan dan keberhasilan pembangunan di semua sektor dan wilayah. Termasuk melawan logika pemakzulan presiden di masa-masa pemilu seperti ini.
“Kelompok ini sedapat mungkin bisa dengan cepat memberikan masukan pada Polri dan sekaligus dapat membantu mengcounter ‘kecaman’ publik pada Polri. Secara jangka menengah, diharapkan kelompok ini dapat memberikan konstruksi yang kokoh terhadap kerja-kerja Polri, sekaligus dapat melakukan checking terhadap kepuasan warga pada pelayanan Polisi di secara cepat,” ujar Djuni.