JAKARTA - Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Zuly Qodir mengatakan, narasi kebangkitan khilafah yang mulai dikemukakan beriringan dengan 100 tahun runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah adalah perspektif yang sempit dan tidak rasional.
“Pandangan yang melahirkan narasi kebangkitan khilafah adalah perspektif yang sempit dan irasional. Memang ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang merasa memiliki hubungan dan sentimen terhadap narasi ini, dan ini tidak terlepas dari agenda politik kelompok tertentu. Beruntungnya kita bahwa klaim kembalinya khilafah tidak didukung oleh mayoritas masyarakat,” kaya Zuly dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Antara, Jumat, 12 Januari.
Ia secara tegas menolak percaya terhadap sentimen kebangkitan khilafah. Jika mengacu pada peristiwa di tahun-tahun sebelumnya, klaim serupa tentang kebangkitan khilafah disuarakan pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014 tidak terwujud.
Menurut dia, angka-angka belakang 4 kerap dimistifikasi dan dianggap sebagai bagian dari propaganda politik yang tidak memiliki pijakan pada realita. Kelompok yang mendukung propaganda kerap kali melakukannya dengan bombastis, sehingga berpotensi menarik perhatian masyarakat untuk mencari tahu lebih dekat.
Namun, ia menilai pengaruh narasi khilafah terhadap tahun politik seperti saat ini diprediksi tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 secara keseluruhan. Masing-masing partai politik telah memiliki agenda sendiri, sementara masyarakat lebih memilih fokus pada hal-hal yang konkret dan terkait dengan masa depan Indonesia secara aktual.
"Masyarakat Indonesia memiliki ketahanan lebih terhadap narasi kebangkitan khilafah karena kita lebih percaya pada organisasi sosial keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), daripada organisasi Islam non-mainstream yang muncul setelahnya. Istilah organisasi Islam non-mainstream digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengusung ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara," tuturnya.
Narasi propaganda tersebut dapat dilawan dengan memberikan bukti dan contoh yang faktual, seperti dengan menyoroti kemajuan negara-negara Islam pasca-dinasti Utsmaniyah serta menggambarkan bahwa Indonesia, dengan kerangka Pancasila dan demokrasi, telah mencapai kemajuan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan.
"Akan selalu ada saja yang membanding-bandingkan khilafah dengan apa yang saat ini kita jalankan dan yakini untuk menjalani kehidupan bernegara. Indonesia yang memilih untuk berdiri dengan alas Pancasila dan UUD 1945 jelas tidak bebas dari berbagai kekurangan. Namun, jika dianalisis secara proporsional, ideologi alternatif dari apa yang saat ini kita jalani juga tidak menjamin bahwa kehidupan rakyat Indonesia akan jauh lebih baik," ujarnya.
Selain itu, tambah Zuly, masyarakat perlu memiliki pemahaman kebangsaan yang memadai, agar bisa membentengi diri dari narasi yang tidak produktif sekaligus juga menyadarkan orang di sekelilingnya yang terpapar wacana sejenis.
“Kita perlu mengedukasi dan menyampaikan pencerahan pada orang-orang terdekat kita secara santai. Selain dengan argumentasi, alangkah baiknya kita menyertakan fakta sejarah yang menjelaskan berdirinya Indonesia seperti sekarang ini. Kita juga perlu mempelajari bahwa ideologi atau sistem alternatif yang digaungkan bisa mengganti dan menyejahterakan Indonesia sebenarnya tidak memiliki dasar sejarah yang kuat," imbuhnya.
Zuly mengajak semua pihak, baik pemerintah, organisasi sosial keagamaan, dan lembaga lainnya, untuk bersama-sama memberikan bukti bahwa Indonesia sudah jauh lebih baik. Dengan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, bukan tidak mungkin indikator kualitas kehidupan masyarakat Indonesia akan semakin membaik.
BACA JUGA:
"Saya kira ini harus terus ditingkatkan dan dilakukan bersama-sama, baik oleh pemerintah serta didukung oleh seluruh elemen masyarakat," tandas Zuly.