Mengingat Janji Manis Anies Atasi Banjir Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengecek Rumah Pompa Kedoya Taman Ratu (Foto: Instagram @aniesbaswedan)

Bagikan:

JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jadi sorotan setelah banjir yang terjadi pada Sabtu, 20 Februari. Dia dinilai tak bekerja dengan maksimal untuk mencegah banjir meski ada sejumlah janji yang pernah disampaikannya untuk menanggulangi bencana banjir.

Sejumlah wilayah di DKI Jakarta mengalami banjir dengan ketinggian bervariasi pada Sabtu, 20 Februari. Mengetahui banyaknya wilayah yang terdampak banjir, Anies menggelar rapat koordinasi di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. 

Setelah meninjau ketinggian air dari laporan jajarannya, Anies menyebut, banjir di Ibu Kota, khususnya di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan hari ini diakibatkan cuaca ekstrem dan curah hujan yang tinggi. 

Dia mengatakan curah hujan tinggi terjadi di sejumlah kawasan, misalnya di Pasar Minggu mencapai 226 mm per hari, di Sunter Hulu 197 mm, di Halim Perdanakusuma sampai 176 mm, Lebak bulus 154 mm.

"Semua angka di atas 150 adalah kondisi ekstrem. Dalam pembagian skala, ada hujan lebat sampai 100 mm, kemudian, 100 mm-150 mm sangat lebat dan di atas 150 mm adalah hujan ekstrem," kata Anies.

Curah hujan ini, sambungnya, tak sesuai dengan kapasitas sistem drainase di Ibu Kota yang dibangun dengan daya tampung curah hujan antara 50 sampai 100 milimeter per hari. Hal inilah yang kemudian menyebabkan luapan terjadi dan banjir akhirnya menggenangi sejumlah wilayah.

"Kapasitas sistem drainase di Jakarta itu berkisar 50 sampai 100 mm. Bila terjadi hujan di atas 100 mm per hari, maka pasti terjadi genangan karena memang kapasitasnya terbatas sampai 100 mm," ujar dia.

Janji Anies dalam menanggulangi banjir

Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini pernah punya target genangan air di ibu kota akibat hujan bisa surut dalam 6 jam setelah hujan berhenti. Keyakinan ini muncul setelah dia mengklaim banjir yang terjadi selama musim hujan belakangan ini bisa terkendali dengan baik.

"Prinsip kita ada dua ukurannya. Pertama, bila hujan lebat, maka harus dipastikan jika muncul genangan, 6 jam sesudah hujan berhenti, genangan itu ditargetkan harus sudah bisa kering," ujar Anies beberapa waktu lalu.

Hanya saja, janji ini ternyata meleset ketika banjir terjadi pada Sabtu lalu. Karena meski hujan sudah berhenti hingga enam jam lamanya, namun sejumlah wilayah masih mengalami banjir dan baru surut keesokan harinya atau Minggu, 21 Februari. 

Anies beralasan, banjir ini disebabkan karena kiriman dari wilayah lain yang memenuhi sungai di Jakarta.

Tak hanya itu, Anies juga berjanji bakal membuat membuat sumur resapan di perumahan warga. Hal tersebut adalah salah satu solusi banjir dari Anies yang saat itu maju di Pilgub DKI Jakarta bersama Sandiaga Uno dan disampaikannya saat kampanye di Pesing Garden, Kelurahan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Januari 2017 lalu.

Sumur resapan ini perlu dibuat untuk memasukkan air hujan ke tanah. "Di mana air hujan itu semaksimal mungkin dimasukkan ke dalam tanah. Dan ini membutuhkan kerja yang besar, karena saat ini masih minim sekali usaha untuk memasukkan air ke dalam tanah," jelasnya.

Program ini jugalah yang kemudian membuat Anies mengkritik upaya penanganan banjir yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Alasannya, pada masa kepemimpinan Basuki atau akrab disapa Ahok itu, penanganan banjir dilakukan dengan mengalirkan air hujan ke laut. 

Sedangkan, dia menilai yang dibutuhkan saat ini adalah memasukkan air ke tanah. "Yang dilakukan saat ini itu adalah semaksimal mungkin mengalirkan air ke tempat lain. Itu ke mana, ke laut, lalu dibuatlah saluran-saluran untuk mempercepat agar air sampai ke laut secepat mungkin," tegasnya.

"Sebenarnya yang dibutuhkan justru air masuk ke dalam tanah. Karena itu, yang akan kita lakukan memperbanyak sumur-sumur resapan. Dan sumur-sumur resapan ini adalah sumur resapan yang besar yang serius," tambahnya.

Ahok beri saran untuk Anies

Banjir yang tak surut selama enam jam dan terjadi di banyak lokasi membuat Ahok yang pernah memimpin Jakarta pada 2014 hingga 2017 angkat bicara. Dia menilai, program normalisasi sungai yang sudah dicanangkan sejak lama harusnya diselesaikan oleh Anies.

“Program dari Kementerian PUPR dan juga BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane) dan juga World Bank, semua diselesaikan saja. Mau pakai sheet pile karena rumah penduduk sudah padat dan kondisi struktur tanah longsor atau pun pakai cara alami,” ungkap Ahok kepada VOI.

Normalisasi sungai ditegaskan Ahok harus dijalankan. Bila mau normalisasi atau yang disebut naturalisasi oleh Gubernur DKI Anies Baswedan harus dilakukan dengan memastikan kembalinya bentuk daerah aliran sungai (DAS).

“Kalau mau dikembalikan ke bentuk semula DAS, tempat jalan air yang maksimal, semua bangunan yang terpaksa di daerah DAS kena bongkar. Di Jatinegara ada ruko yang terpaksa kami bongkar apalagi rumah rumah tanpa izin dan menduduki DAS,” kata Ahok mencontohkan penanganan banjir di eranya memimpin Ibu Kota DKI. 

Tapi normalisasi sungai ini ditekankan Ahok harus dibarengi program Pemprov DKI menyediakan tempat tinggal bagi warga Jakarta yang terpaksa harus digusur dari area bantaran sungai. Rumah susun, solusinya. 

“Sediakan saja yang banyak rumah susun yang terjangkau. Milik seumur hidup hak tinggal dan bayarnya murah. Disuruh beli rakyat gaji UMP apalagi gaji nggak menentu mana sanggup beli rumah 0 persen? Banyak perumahan lagi sepi jualan bunga 0 persen. Jangan kan DP 0 persen, kalau gaji UMP mana bisa cicil pokoknya,” papar Ahok. 

Ahok berpesan agar gubernur Jakarta menjalankan program termasuk penanganan banjir dengan berani. Tanpa perlu memusingkan popularitas.

“Di DKI semua sudah lengkap. Tinggal kita berani atau tidak jalankan program yang telah ada dan jika tidak ada perubahan kajian program yang ada. Tinggal kerjakan saja. Semua dilakukan untuk bereskan transportasi, banjir dan mengadministrasikan keadilan sosial saja. Bukan soal populer atau tidak. Ini soal menjalankan tugas sesuai dengan sumpah jabatan dan profesional atau tidak selama menjabat,” katanya.

Anies dianggap banyak pencitraan

Sementara aktivis Lingkungan Hidup, Chaerudin atau akrab disapa Babe Idin meminta agar Anies tidak menyalahkan air sebagai penyebab banjir di ibukota yang tak kunjung selesai. Banjir yang terjadi di akhir pekan ini, kata dia, harusnya jadi refleksi apa yang sudah dilakukannya di Jakarta selama ini.

"Mudah-mudahan orang nomor satu DKI denger gua ngomong. Kalau banjir, kita jangan nyalahin airnya, kalinya. Tapi caranya menangani yang mesti dilihat," kata Babe Idin yang juga pembina Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) dikutip dari keterangan tertulisnya.

"Normalisasi oke. Tapi jangan nanti pohon bambu ditebang-tebangin dan diganti dengan beton-beton," imbuhnya.

Kritikan keras juga datang dari akademisi Ade Armando. Dia menilai, Anies hanya sibuk pencitraan tanpa tahu prioritas mana yang harus dikerjakan demi kepentingan warga ibu kota. 

Paling kelihatan saat Anies Baswedan memposting foto dirinya bersama seorang ibu di kawasan Cipinang, Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Dalam foto di akun twitter @aniesbaswedan terlihat perbandingan antara 2017 di mana kawasan masih dilanda banjir dan 2020 saat bebas banjir. 

"Ini adalah ilustrasi paling menggelikan, peristiwa kunjungan ke Kelurahan Cipinang Melayu, Jakarta Timur pada 9 Februari lalu. Anies membanggakan diri dengan menggambarkan daerah itu sekarang sudah bebas banjir," kata Ade Armando dalam saluran YouTube CokroTV, Sabtu, 20 Februari. 

Kenyataan itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini dimana Kelurahan Cipinang Melayu tetap terendam banjir setinggi 1,5 meter. 

"Digambarkan bahwa itu tercapai karena program Gerebek Lumpur di kali Sunter. Jadi lumpurnya diangkat dan dibangun tanggul baru. Kesombongannya itu yang langsung dijawab alam, pada pertengahan Februari Kelurahan Cipinang Melayu dilanda banjir dengan ketinggian sampai 1,5 meter," sindir Ade. 

Pegiat media sosial ini menambahkan, kebijakan Anies selama menjabat tidak memberikan efek yang besar pada penanggulangan banjir sebagaimana yang dilakukan pendahulunya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ahok, tegas Ade Armando menerapkan manajemen sungai secara sistematis dengan melebarkan daerah aliran sungai (DAS) sehingga air bisa cepat mengalir ke laut.

Untuk mendukung program ini, Ahok kemudian memindahkan warga yang ada di bantaran sungai ke rumah susun termasuk para penghuni bangunan liar. Program ini yang dilecehkan Anies karena melawan sunnatullah.

"Di seluruh dunia kata Anies air dari langit seharusnya diserap ke bumi bukan dialirkan ke laut, karena itu katanya yang dibangun seharusnya bukan gorong-gorong raksasa tetapi memastikan air dengan segera terserap ke tanah. Dengan begitu juga tidak perlu ada lagi penggusuran pemukiman liar di bantaran kali," terang Ade.

Naturalisasi adalah kebijakan yang tepat untuk mendukung program air harus terserap ke bumi dan bukan dikembalikan ke laut. Masalahnya, terang Ade, ini semua hanya sebatas kata dan tidak pernah terealisasi oleh Pemprov DKI.

"Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti mengganti dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem tapi semua serba tidak jelas tidak ada eksekusinya secara berkelanjutan. Jadi normalisasi disetop naturalisasi tidak pernah dijalankan," pungkasnya.