Bagikan:

JAKARTA – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra angkat bicara terkait polemik etik penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara pelanggaran norma etik dengan norma tentang perilaku atau code of conduct. Dia menjelaskan, norma etik penyelenggara pemilu kedudukan peraturannya berada di bawah Undang-Undang seperti peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus Pak Anwar Usman (Eks Ketua MK) itu berbeda dengan norma etik dalam teori dan filsafat hukum. Peraturan (MKMK) itu dibuat dari derivasi Undang-Undang, sebagaimana juga peraturan kode etik hakim MK. Karena itu derivasi Undang-Undang, maka kedudukannya di bawah Undang-Undang kalau dilihat dari hierarki hukum," kata Yusril.

Yusril mengatakan hal itu saat menyampaikan keynote speech dalam webinar Konstitusionalitas Pilpres 2024 pada Kamis 28 Desember. Dia bilang Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melanggar kode etik karena memproses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2024.

"Harus kita pahami betul (apa yang dilanggar Anwar Usman) adalah code of conduct, norma tentang perilaku, bukan norma mendasar di dalam filsafat hukum. Pengambil keputusan di dewan etik mestinya sadar apa yang mereka lakukan terbatas pada code of conduct, bukan pada norma etik yang ada di teori hukum," kata dia.

Yusril juga menegaskan pelanggaran yang menjerat Anwar Usman sama sekali tidak memiliki unsur pidana. Dengan demikian, argumen seputar Putusan MK Nomor 90 yang dikuatkan Putusan MK 141 tidak lagi relevan telah terbantahkan dengan sendirinya.

"Kalau terjadi pelanggaran etik dalam makna code of conduct, belum tentu ada pelanggaran hukum. Jadi kasusnya Pak Anwar Usman dengan Pak Firli (Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri) di KPK itu sangat berbeda. Karena di kasus Pak Anwar tidak ada tindakan hukum apapun, maka dewan etik harus bekerja dan memberikan sanksi etik," ujar Yusril.

Lebih jauh, Yusril menjelaskan dalam hal pertemuan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dengan eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) di lapangan olahraga bulu tangkis pada Maret 2020 secara etik jelas salah. Namun, terkait pelanggaran hukumnya belum bisa dipastikan lantaran harus pengusutan lebih dalam lagi apa yang terjadi dalam pertemuan tersebut.

"Sekali lagi, jangan dianggap pelanggaran yang diputuskan MKMK terhadap Pak Anwar Usman sebagai pelanggaran etik fundamental dalam filsafat hukum, tapi dalam konteks code of conduct dalam menjalankan jabatan tertentu di satu organisasi. Dan dari segi hukum, jelas Putusan MK adalah final dan mengikat, sehingga tidak akan gugur karena terjadi pelanggaran etik," tuturnya.

Sebelumnya, Yusril memberikan klarifikasi terkait perdebatan hukum yang beredar di masyarakat soal norma etik yang lebih tinggi daripada norma hukum. Yusri pun sempat menukil pandangan hukum Islam yang mengatakan jika norma etik bertentangan dengan norma hukum, maka norma hukum bisa dikesampingkan.

Narasi itu kini beredar dan dianggap menyudutkan Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024. Dalam narasinya Gibran dinilai diuntungkan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres-Cawapres, yang pada proses penetapannya Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melanggar kode etik.